TRIBUN-BALI.COM - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, ikut buka suara terkait peluang pemerintahan baru yakni Prabowo Subianto yang bisa melakukan perubahan postur anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).
Sri Mulyani menyebut, mekanisme APBN-P sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) sehingga apa yang akan dilakukan merupakan diskresi dan kewenangan dari pemerintahan baru.
"Namun kami dalam menjalankan tugas hari ini untuk menyusun RAPBN 2025. Kita juga terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan tim yang disampaikan oleh Pak Prabowo sehingga kita juga mencoba memahami dan mendesainnya sesuai dengan janji-janji maupun berbagai program," ujar Sri Mulyani saat Rapat Bersama Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (11/6).
Namun, pihaknya akan tetap menjaga agar APBN terus sehat dan sustainable dalam jangka menengah-panjang supaya bisa tetap menjadi instrumen yang menjawab masalah-masalah pembangunan.
Dari sisi jangka panjang, APBN juga harus terus dijaga sehingga pemerintah harus terus mencari jalan tengah keseimbangan dari berbagai program yang dianggap memang urgent dan penting.
"Jangan sampai untuk mengakomodasi begitu banyak persoalan lalu APBN-nya dipaksa melakukan diluar kemampuannya," katanya.
Baca juga: KAGET Temukan Tengkorak Manusia, Sudiarta Kira Tulang Sapi, Simak Berita Karangasem Berikut Ini
Baca juga: VIRAL Bule Inggris Curi Truk & Bikin Onar di Bali Diperiksa Kejiwaannya,Dideportasi Setelah Diadili
Bendahara Negara mencontohkan, negara Argentina mengalami krisis lantaran APBN-nya yang tidak terjaga dengan baik.
Ia mengatakan, pada abad ke-19, sebetulnya ekonomi Argentina sudah sangat maju dan menjadi negara kaya. Namun karena APBN yang tidak terkelola dengan baik, menyebabkan defisit negara tersebut membengkak dan malah terjebak ke dalam middle income trap.
"Argentina kalau abad 19 awal termasuk negara kaya dan paling maju, sekarang mengalami setback. Ini yang akan terus kami berkomunikasi karena APBN ditetapkan dengan proses politik, kita juga harus melalui proses politik yang proper juga," katanya.
Sementara itu, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 masih menjadi polemik di masyarakat.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan akan menyerahkan kebijakan tarif PPN 12 persen kepada pemerintahan baru, yakni pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Yang (tarif PPN) 12 persen adalah untuk tahun depan kami tentu serahkan kepada pemerintah baru," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan tarif PPN tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ada beberapa pertimbangan pemerintah menetapkan tarif PPN dalam UU tersebut, yakni untuk menjaga perekonomian Indonesia dan di sisi lain diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
"Dalam hal ini kami memahami kondisi dari perusahaan dan tentu nanti akan ditetapkan. Di satu sisi keinginan untuk menjaga perekonomian kita, pertumbuhan dan momentumnya tetap bisa dijaga. Di sisi lain ada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama sesudah kenaikan belanja yang sangat besar pada saat pandemi," katanya.
Sebagai informasi, meski telah diatur dalam UU HPP, pemerintah masih bisa menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dengan pertimbangan tertentu.
Merujuk pada Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi sebesar 15 persen.
"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen," bunyi ayat penjelas dari Pasal 7 ayat (3) aturan tersebut.
Nah, perubahan tarif PPN tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Di sisi lain, Sri Mulyani juga mengingatkan pemerintah daerah untuk terus mengoptimalkan pendapatan daerahnya. Sri Mulyani menyebut, hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) merupakan upaya untuk meningkatkan local taxing power sehingga daerah memiliki kemampuan untuk mengumpulkan pendapatan sendiri.
Upaya tersebut bisa dilakukan lewat penerapan jenis pajak dan retribusi daerah baru melalui simplifikasi peraturan daerah (perda) dan penguatan sinergi pemungutan pajak dan retribusi daerah.
Namun, Menkeu mengingatkan pemerintah daerah untuk bisa menurunkan administratif dan compliance cost sehingga mampu meningkatkan penerimaan tanpa beban yang terlalu besar kepada masyarakat. "Pungutan pajak harus terukur dan tarif juga harus disesuaikan secara terukur," ujar Sri Mulyani.
Diberitakan Kontan sebelumnya, kemampuan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi pajak dan retribusi daerah baru mencapai pada kisaran 50 persen hingga 60 persen. Oleh karena itu, pemda perlu meningkatkan local taxing power melalui pemanfaatan berbasis modernisasi untuk perluasan basis PDRD. (kontan)