TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi pelapor mengenai kasus penggelapan keuangan Yayasan Dhyana Pura (YDP) berlangsung cukup lama di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi-saksi pelapor di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.
Dua terdakwa yakni Mantan Ketua Yayasan, I Gusti Ketut Mustika dan Bendahara Yayasan era 2016-2020, Rulick Setyahadi kini telah berada dibalik jeruji besi.
Saat itu terdapat temuan hasil penggelapan di dalam yayasan yang dilakukan kedua terdakwa senilai Rp 25.572.592.073.46 atau sekitar Rp 25,5 miliar.
Agenda mendengarkan keterangan saksi pelapor yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berlangsung sejak Kamis 20 Juni 2024 hingga dilanjutkan pada Selasa 25 Juni 2024 ini di Pengadilan Negeri Denpasar.
Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi di LPD Kedewatan Ubud Gianyar, Saksi Ahli Sebut Ada Unsur Pembiaran
Hal ini untuk mengungkap fakta-fakta dibalik kasus yang terjadi di lingkungan yayasan yang menaungi Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Universitas Dhyana Pura yang bergulir sekarang.
Dalam pemeriksaan keterangan saksi ini JPU menghadirkan saksi-saksi pelapor di antaranya yakni Pdt. DR. I Ketut Siaga Waspada selaku Ketua Pengurus Yayasan Dhyana Pura Periode 2020-2024, I Made Darmayasa, SE,MM selaku Bendahara Yayasan Dhyana Pura periode 2020-2024, kemudian saksi pelapor lainnnya, I Nyoman Agustinus, M.Th, I Gede Oka, dan I Wayan Susrama.
Dalam persidangan tersebut, menilik keterangan kedua saksi pelapor baik Pdt. DR. I Ketut Siaga Waspada maupun I Made Darmayasa, SE,MM terungkap fakta persidangan terkait independensi hasil audit Kantor Akuntan Publik Ramantha yang dipertanyakan oleh Penasihat Hukum Terdakwa 1, dimana audit tersebut dibiayai oleh seseorang yang dari luar Yayasan.
Selain itu, Penasihat Hukum Terdakwa 1 Sabam Antonius, SH, menyampaikan bahwa dalam hasil audit KAP Ramantha adanya pengeluaran yang tidak dicatatkan dengan nominal yang begitu besar namun tidak dimasukkan dalam hasil audit tersebut, sehingga menghasilkan selisih sebesar Rp 25,5 miliar yang dianggap menjadi kerugian.
Sabam bersama timnya Rudi Hermawan SH dan I Putu Sukayasa Nadi, SH.,MH dan Anindya Primadigantari, S.H.,M.H menyatakan ada temuan sekitar Rp 30 miliar lebih yang tidak dicatatkan dalam kolom pengeluaran cek yang kemudian menghasilkan selisih tersebut.
"Hasil audit yang tidak didukung oleh data-data yang lengkap dan valid menghasilkan kesimpulan kerugian dijadikan dasar laporan di Kepolisian hingga sampai Pengadilan, di mana klien kami sampai ditahan," kata Sabam dari SYRA Law Firm, yang ditemui seusai persidangan.
Lebih lanjut, Sabam menyampaikan, dalam fakta persidangan yang ia tunjukkan di hadapan hakim dan saksi pelapor disertai bukti yang ada dalam KAP Ramantha diharapkan menjadi pertimbangan Majelis Hakim.
"Semoga menjadi pertimbangan besar dengan adanya fakta persidangan itu oleh Majelis Hakim," harap Sabam kepada Majelis Hakim.
Sementara itu, secara terpisah, Kuasa Hukum Pelapor, Johny Riwu menyampaikan, bahwa kebenaran formil dalam kasus ini yang menurutnya sudah lewat.
"Artinya mereka lapor pembina tidak sah, pengurus yayasan atau pelapor tidak sah, itu sudah lewat. Sudah ditutup dan itu sudah terungkap dalam persidangan dengan keterangan saksi-saksi," bebernya.
Mengenai kebenaran materiil tentang penggelapan, Johny menyebut bahwa pihak terlapor harus bisa melakukan bantahan.
"Mereka harus bantah. Kalau mereka tak bisa bantah dalil yang dituduhkan oleh pengurus yayasan, kan kita sudah buktikan itu lewat dakwaan itu," ujarnya.
"Dari Polda penyidikan, lahir ke pelimpahan jaksa, jaksa sudah ada dakwaan kan," tutup Johny. (*)
Kumpulan Artikel Denpasar