Berita Bali

Update Tipikor: Terdakwa Kasus Pungli Bendesa Adat Berawa Ajukan Pledoi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa Ketut Riana usai menjalani sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor Denpasar.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Terdakwa kasus pungutan liar di Desa Adat Berawa, I Ketut Riana menyampaikan Pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, pada Kamis 19 September 2024. 

Nota pembelaan tersebut dibacakan oleh tim penasihat hukumnya, Gede Pasek Suardika di hadapan Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Gede Putra Astawa, dan Hakim Anggota Made Okti Madiani dan I Wayan Yasa.

Baca juga: Antisipasi Lonjakan Harga Jelang Galungan, Bupati Gede Dana Sidak Pasar Tradisional

Dalam pledoi tersebut, menurut pria yang karib disapa GPS tersebut unsur-unsur dakwaan dalam tuntutan dinilai tidak terpenuhi

Pertama ialah Bendesa Adat yang dianggap Pegawai Negeri Sipil (PNS) kalau menerima gaji atau upah dari pemerintah atau negara. 

"Jadi pada dakwaan, disebutkan terdakwa menerima gaji atau upah atau imbalan, tapi kata imbalan ini tidak ada di dalam undang-undang, itu sudah kami masalahkan," tutur dia

Baca juga: Dispar Upayakan Nusa Penida Festival Tetap Digelar Tahun 2024 Ini, Simak Alasannya 

Lanjutnya, berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum  (JPU) tidak menggunakan kata gaji dan upah, akan tetapi kata penghasilan.


Menurut hematnya, penghasilan dengan gaji dan upah itu memiliki arti arti yang berbeda secara hukum. 


Sehingga, unsur pertama tersebut disebutnya sudah tidak terbukti dan seharusnya terdakwa dibebaskan. 


Selain itu, GPS juga menyatakan bahwa unsur pemaksaan juga tidak terbukti.


Dikemukakannya terdapat ketidakjelasan terhadap siapa korban dalam perkara ini. 


Bila PT Berawa Bali Utama korbannya maka kasus ini membicarakan perkara dugaan permintaan Rp 10 miliar. 


Namun jika korban Andianto Nahak, maka membicarakan perkara barang bukti uang Rp 100 juta yang diserahkan saat terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan).


Lanjut pria berusia 55 tahun itu menyebut menyebut bahwa kedua hal tersebut merupakan subjek hukum yang berbeda.


Dibeberkannya bahwa uang Rp 100 juta yang dijadikan sebagai barang bukti, diserahkan atas inisiatif Andianto Nahak di Cafe Casa Bunga, Renon, Denpasar. Serta, Rp 50 juta yang disebut hanya dipinjam Ketut Riana.


"Ini sudah terungkap di dalam persidangan, yang menghubungi, yang ngajak pertemuan dan yang memberi uang kan saksi Andianto, jadi unsur memaksa tidak ada," ungkap pria asal Singaraja itu.  


Kemudian pemerasan Rp 10 miliar pun tidak terjadi dalam perkara tersebut. Dikatakan dia, kedua belah pihak antara terdakwa dan PT Berawa Bali Utama tidak pernah ada pertemuan. 


Terdakwa I Ketut Riana hanya bertemu dengan Andianto Nahak yang dikontrak oleh perusahaan tersebut untuk mengurus izin. 


"Kedua belah pihak juga tidak pernah bertemu, PT Berawa Bali Utama merasa tidak pernah diperas, jadi bagaimana bisa disebut ada pemerasan?" tanyanya. 


"Terbukti juga di persidangan, terdakwa tidak punya kewenangan dalam urusan perizinan investasi, jadi bagaimana orang tidak punya kewenangan, tapi dihukum atas kewenangan yang sifatnya semu," imbuh dia.

 

Pasek menjelaskan, tentang penerapan Pasal 12 huruf e juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.


Kata dia, pasal tersebut berlaku apabila terdapat kerugian keuangan negara. Sedangkan, uang yang jadi barang bukti adalah milik saksi Andianto, bukan milik PT Berawa Bali Utama. 


"Tidak bisa dipaksakan pemerasan, kalau mau dipaksakan harusnya terkait kasus suap-menyuap, tetapi pidananya pidana umum, baru kemudian dicek punya kewenangan tidak yang disuap ini, dan pelakunya pun jadi kedua belah pihak," ujar dia.

Berita Terkini