TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sudah sejak lama, kelahiran wuku Wayang di Bali dipercaya sebagai kelahiran yang tenget atau angker.
Seperti dijelaskan Dosen Unhi Denpasar, I Kadek Satria, kepada Tribun Bali beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan, bahwa kelahiran Wuku Wayang adalah juga bagian dari kelahiran melik di Bali.
Melik merupakan salah satu laku keyakinan masyarakat Bali, dan kelahiran melik ini dipercaya berbahaya apabila tidak dilukat atau dibayuh.
Ada tiga melik, yakni Adnyana, melik Ceciren, dan melik kelahiran. Nah kelahiran wuku Wayang, masuk ke dalam katagori melik kelahiran. "Orang hamil saat kena Tumpek Wayang harus malukat, agar anaknya tidak dikuasai sifat bhuta kala," jelasnya.
Wuku Wayang dimulai dengan jangka waktu seminggu. Sehingga anak yang lahir sejak Minggu Wage hingga Sabtu Kliwon, termasuk ke dalam wuku Wayang.
Sejak dahulu, ada kepercayaan di tengah-tengah masyarakat bahwa kelahiran anak pada wuku Wayang harus dibayuh sapuh leger. Bantennya pun cukup banyak dan ada pertunjukkan wayang di dalam upacara sapuh leger.
Baca juga: SAKRAL Tarian Tabuh Geni, Digelar Krama Adat Calo, Injak & Tendang Api Tanpa Alas Kaki, Ini Maknanya
Baca juga: KORBAN Rudapaksa Asal Jaksel Ternyata Seorang Selebrgam, Niat Promosikan Vila Kini Alami Trauma!
Bukan tanpa alasan diperlukan pertunjukan wayang, sebab ada kisah di baliknya. Pemangku asal Bon Dalem, Jero Mangku Ketut Maliarsa menjelaskannya kepada Tribun Bali. Hari suci Tumpek Wayang yang jatuh setiap enam bulan (210) hari sekali, memiliki kisah menarik di belakangnya. Pemangku Pura Campuhan Windhu Segara ini, menjelaskan sesuai isi lontar Kala Pati Tattwa.
Dikisahkan, pada zaman dahulu lahirlah Bhatara Kala yang merupakan anak dari Bhatara Siwa. "Bhatara Kala lahir akibat nafsu tak terkendali dari Bhatara Siwa. Ketika Bhatara Siwa keluar dari Siwalaya untuk berjalan-jalan menaiki lembu Nandini. Beliau pergi bersama dengan Dewi Uma yang merupakan saktinya (istri)," jelasnya kepada Tribun Bali beberapa waktu lalu.
Kemudian saat Dewi Uma berjalan-jalan, angin kencang menyingkap kainnya dan memperlihatkan bagian tubuh Dewi Uma. Hal itu membuat Dewa Siwa terpesona, dan tidak bisa mengendalikan nafsu birahinya. Oleh karena nafsu Dewa Siwa yang besar kala itu, membuat kama beliau jatuh ke samudera di bawahnya. Seketika lautan bergejolak hebat dan berputar lalu melahirkan Bhatara Kala.
Singkat cerita, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma kemudian memelihara raksasa ini. Sebab perawakan Bhatara Kala sangat besar layaknya raksasa. Suatu hari, Bhatara Kala bertanya tentang siapa ayahnya. Setelah diketahui, bahwa Dewa Siwa adalah ayahnya maka Bhatara Kala langsung berniat ingin mencarinya ke Siwa Loka. Dan Dewa Siwa pun mengakui anak tersebut, lalu diberi nama Bhatara Kala.
Bhatara Kala lahir tepat ketika Tumpek Wayang. Kemudian ia dianugerahi oleh Dewa Siwa, bahwa Bhatara Kala bisa memakan siapa saja yang lahir saat wuku Wayang. Tak disangka, ternyata Bhatara Siwa kembali memiliki putera bernama Hyang Kumara. Lahirnya pun sama dengan Bhatara Kala, yakni ketika wuku Wayang. Bhatara Kala kemudian ingin memakan Hyang Kumara, sesuai dengan izin ayahnya terdahulu.
Hyang Kumara yang ketakutan terus berlari menghindari Bhatara Kala karena tidak ingin dilahap sang kakak. Sampai akhirnya ia berhasil bersembunyi di dalam alat musik gender milik seorang dalang wayang, dan akhirnya selamat. Dari sinilah, maka dikenal bahwa kelahiran ketika wuku Wayang sangat berbahaya. Dan perlu dibayuh agar sifat kala pada diri anak yang lahir pada wuku Wayang bisa dikendalikan.
Sejak dahulu di Bali, semua anak yang lahir ketika Tumpek Wayang akan dibayuh sapuh leger. Namun ada pendapat berbeda dari Ida Pedanda Gede Menara Putra Kekeran. Sulinggih dari Gria Pemaron, Selat, Sangeh, Badung ini, memiliki pendapat berbeda. Kepada Tribun Bali, beliau menjelaskan bahwa tidak semua yang lahir pada Wuku Wayang harus disapuh leger.
"Hanya yang lahir pada hari Jumat saja, yang harus disapuh leger," tegas beliau via sambungan telepon pada 8 Januari 2021. Hal ini, kata beliau, sudah berdasarkan tattwa bukan pendapat pribadinya. Kelahiran Hyang Kumara yang sama dengan sang kakak, membuat dirinya terus dikejar Bhatara Kala. Beliau mengatakan, bahwa pengejaran Bhatara kala terjadi sejak hari Minggu wuku Wayang hingga hari Jumat wuku Wayang.
Hampir saja Hyang Kumara dilahap Bhatara Kala, pada hari Jumat wuku Wayang. Namun beruntung ia bersembunyi di bumbung gender milik seorang dalang yang sedang mementaskan wayang. Hyang Kumara meminta tolong kepada ki dalang, agar tidak memberitahukan posisinya kepada Bhatara Kala. Ki dalang pun membantunya, dan membiarkan Hyang Kumara bersembunyi.
Bhatara Kala yang haus dan lapar, akhirnya melahap babi guling dan segala sajian yang ada di pertunjukan wayang ki dalang tersebut. Termasuk sesajen yang hendak dihaturkan Ki Dalang kehadapan Dewa Siwa. Akhirnya karena semua dimakan Bhatara Kala, membuat ki dalang geram. Ia bertanya dan berdebat dengan Bhatara Kala, karena telah memakan babi guling dan sesajen persembahannya.
Intinya, ki dalang ini ingin melaporkan sikap Bhatara Kala ke Dewa Siwa yang notabene ayahnya sendiri. Bhatara Kala pun ketakutan mendengar ancaman itu, dan meminta ampun ke ki dalang agar tidak dilaporkan kepada Dewa Siwa. Sejak saat itu, Bhatara Kala berjanji tidak akan memakan lagi anak-anak yang lahir pada Tumpek Wayang atau wuku Wayang. Dengan syarat menghaturkan sesajen dan menggelar pertunjukan wayang sapuh leger.
"Makanya perlu ada guling di upacara sapuh leger, bantennya bebangkit satu saja bisa," sebut beliau. Namun apabila masyarakat tidak memiliki biaya, bisa mengikuti sapuh leger massal. Beliau mengatakan yang perlu disapuh leger adalah kelahiran tepat Jumat wuku Wayang, atau Jumat Wage wuku Wayang. Ia pedanda menjelaskan, bahwa semua kisah dan upakara serta upacara tentang Tumpek Wayang ini tertulis di dalam Kala Pati Tattwa.
Sehingga beliau mengikuti apa yang sudah disuratkan, dan tidak berani melebih-lebihkan atau menguranginya. Beliau hanya ingin meluruskan, bahwa seseorang yang lahir hari Jumat saat wuku Wayanglah yang perlu disapuh leger. "Alasannya karena dia (anak yang lahir hari Jumat), nadah atau tepat pada hari Kala Paksa, makanya harus disapuh leger," tegas beliau.
Sedangkan seseorang yang lahir sejak hari Minggu sampai Kamis, tidak perlu disapuh leger. Hanya perlu nunas tirta panglukatan Sudamala saja. Kemudian yang kahir hari Sabtu, tepat ketika Tumpek Wayang hanya perlu nunas tirta panglukatan Samarana saja. Namun beliau tidak memungkiri, bahwa selama ini masyarakat kerap mengupacarai sapuh leger untuk semua anak yang lahir ketika wuku Wayang.
Beliau menjelaskan, bahwa hari Jumat merupakan hari berbahaya karena berkaitan dengan hampir dimangsanya Hyang Kumara oleh Bhatara Kala. Sedangkan Sabtu, adalah hari yang telah lewat dari upaya Bhatara Kala memangsa Hyang Kumara. Saat ini masyarakat Hindu di Bali, selalu merayakan hari suci Tumpek Wayang pada hari Sabtu Kliwon. Pada hari ini, semua umat bisa memohon perlindungan kepada Bhatara Siwa untuk menghindari hal tidak baik.
Dalam kitab Sundarigama dijelaskan, pada hari Jumat Wage dinamakan Alapaksa yakni hari yang dipandang kotor atau hari tercemar. Dalam Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, disebutkan ada kemungkinan hari Jumat dianggap sakral dan tabu untuk melakukan sesuatu. Karena hari itu memang merupakan hari terakhir menjelang memasuki puncak peralihan yang terjadi keesokan harinya. Yaitu pada Sabtu Kliwon Wayang atau dikenal dengan hari suci Tumpek Wayang.
Tumpek Wayang dianggap hari paling keramat, karena merupakan hari pertemuan dari waktu-waktu yang dipandang sakral atau keramat. Hari Sabtu merupakan hari terakhir menurut perhitungan Saptawara. Sedangkan Kliwon merupakan hari terakhir, menurut perhitungan Triwara. Dan wuku Wayang adalah wuku terakhir dari 30 wuku, yang memiliki Tumpek. Sehingga sehubungan dengan ini, umat Hindu disarankan mengenakan sarana penolak bahaya dengan menyelipkan pandan berduri di pinggang dan menorehkan kapur sirih di ulu hati.
Serta memasang pandan berduri di pintu masuk rumah, atau di bawah tempat tidur. Selanjutnya, keesokan harinya sarana penolak bahaya itu dikumpulkan dan ditempatkan di atas sidi sebagai simbol bahwa telah berhasil menyelamatkan diri, menghindari berbagai rintangan dan bencana. Lalu pandan berduri itu dibuang di jalan dan diberi segehan diiringi doa permakluman membuang segala noda, kotoran, penderitaan dan bencana. (ask)