TRIBUN-BALI.COM - Krama Desa Adat Calo, Kecamatan Tegalalang, Gianyar memiliki tradisi sakral yakni tabuh Geni atau tarian api.
Tradisi serangkaian upacara piodalan di Pura Puseh dan Bale Agung setempat ini digelar pada Rabu (15/1).
Tradisi ini digelar sebagai bentuk penetralisir hal negatif pada diri manusia dan alam semesta. Prosesi Tabuh Geni ini juga dimaknai sebagai bentuk penyucian diri ke tingkat yang lebih tinggi.
Sebelum tarian api berlangsung, krama adat terlebih dahulu melakukan berbagai ritual di Pura Puseh dan Bade Agung Desa Adat Calo. Setelah itu dilanjutkan persembahyangan yang diikuti jero mangku, tetua adat, pemuda dan krama adat lainnya.
Para penari api kemudian mengitari sarana upakara piodalan, setelah itu masuk ke dalam bara api tanpa mengenakan alas kaki. Api diinjak dan ditendang.
Baca juga: LAGI! WNA Rusia Berulah di Bali, Curi Motor di Pantai Honeymoon, Terancam Deportasi Langsung
Baca juga: KORBAN Rudapaksa Asal Jaksel Ternyata Seorang Selebrgam, Niat Promosikan Vila Kini Alami Trauma!
Meskipun secara logika hal tersebut sangat berbahaya. Namun, para penari seolah sedang menginjak dan menendang kerikil. Tanpa sedikitpun terlihat merasakan panas dari raut wajah mereka.
Jero Mangku Wayan Wastika mengatakan, upacara Tabuh Geni ini dilaksanakan saat Ngusaba Puseh dan Bale Agung, sesuai dengan kondisi desa adat. “Biasanya dilaksanakan setiap Sasih Kepitu bergantian. Digelarnya upacara ini untuk memohon keselamatan masyarakat dan alam semesta,” ucapnya.
Krama setempat, Jipayana Putra mengatakan, saat mengikuti tradisi tersebut ia sama sekali tidak merasakan panas saat menginjak dan menendang api. Selain itu, perasaanya saat itu terasa nyaman, tidak apa rasa takut maupun amarah.
Semua itu dijalankan dengan rasa tenang. “Hanya ada rasa ikhlas dan berserah diri ke hadapan Tuhan, onggokan api terlihat kecil, sengatan api tidak ada terasa hanya seperti menginjak kerikil kecil,” tuturnya.
Jero Bendesa Adat Calo, Ir I Nyoman Eriawan menjelaskan, menginjak api di dalam pura dalam tradisi Bali memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, karena berkaitan dengan pembersihan, penyucian, dan simbol transformasi.
Ritual ini biasanya dilakukan dalam upacara tertentu sebagai bagian dari perjalanan spiritual seseorang, baik sebagai bentuk persembahan kepada Hyang Widhi maupun sebagai proses introspeksi diri.
“Api melambangkan unsur penyucian. Menginjak api di dalam pura adalah simbol pembersihan dari energi negatif, karma buruk, dan pengaruh duniawi yang menghalangi jalan menuju kedamaian batin. Ritual ini menandakan bahwa seseorang siap untuk memasuki tahap baru yang lebih suci,” ujarnya.
Sebagai simbol transformasi, Jero Bendesa menerangkan, api sebagai elemen yang membakar dan mengubah. Dalam konteks spiritual, menginjak api menandakan seseorang melepaskan sifat-sifat buruk seperti ego, kemarahan, dan kebingungan, serta membuka diri untuk perubahan positif.
“Ini adalah proses transformasi dari keadaan asuri sampad (sifat buruk) menuju daivi sampad (sifat ilahi),” jelasnya.
Selain itu, kata dia, api adalah simbol tantangan, kekuatan, dan ujian. Dalam spiritualitas Bali, menginjak api menunjukkan keberanian seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan kepada Tuhan (Hyang Widhi) dan keyakinan pada diri sendiri.
Diapun menyimpulkan, menginjak api di dalam pura dalam tradisi Bali adalah simbol kuat untuk pembersihan, keberanian, dan transformasi.