“Dalam spiritualitas, itu mengajarkan kita untuk menyucikan diri dari segala hal yang menghalangi hubungan dengan Hyang Widhi dan alam semesta.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini menjadi pelajaran tentang keberanian menghadapi tantangan, melepaskan ego, dan menerima proses transformasi sebagai bagian dari perjalanan hidup,” ujarnya.
Sementara, terkait upacara menginjak api yang hanya dilakukan oleh pemangku dan para pemimpin desa memiliki makna mendalam, baik dari sisi spiritual maupun sosial. Hal itu juga sebagai cerminan dari peran dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin spiritual dan masyarakat.
Dalam makna spiritual, pemangku merupakan simbol pelindung dan perantara antara umat dan Hyang Widhi (Tuhan). Sedangkan pemimpin desa bertindak sebagai pelindung masyarakat.
Menginjak api oleh mereka melambangkan tanggung jawab untuk membersihkan energi negatif yang mengancam masyarakat serta menjaga keseimbangan spiritual desa.
“Pemimpin spiritual dan adat dianggap memiliki tanggung jawab untuk menebus atau memurnikan energi negatif yang mungkin ada dalam desa adat.
Api menjadi sarana pembersihan, dan pemangku atau pemimpin desa bertindak sebagai wakil untuk membawa masyarakat menuju harmoni,” ujarnya.
Dari segi kekuatan dan keberanian spiritual, menginjak api oleh pemangku dan pemimpin desa menunjukkan keberanian spiritual mereka sebagai individu yang memiliki koneksi mendalam dengan kekuatan ilahi. Ini menegaskan bahwa mereka layak menjalankan tugas suci untuk melindungi masyarakat secara spiritual dan moral.
“Ritual ini sekaligus menjadi pengingat bagi masyarakat untuk menghormati pemimpin mereka, tidak hanya karena kekuasaan, tetapi juga karena tanggung jawab besar yang mereka emban untuk menjaga harmoni krama desa adat,” ujarnya. (wayan eri gunarta)