Ada pula instalasi tengkorak di atas tanah, yang melambangkan bagaimana tragedi 1965 begitu memilukan di Bali. Tanpa pengadilan yang adil, tanpa keseriusan penyelesaikan kasus hukumnya, dan terlupakan begitu saja.
Dari total ratusan karya di berbagai ruangan terpisah, ada pula kisah tentang budaya dan kepercayaan umat Hindu di Bali. Bahkan Made Bayak juga menampilkan surga neraka, serta bagaimana kelahiran dan karma di Bali.
Selain persoalan air, sampah dan kemacetan serta korupsi yang kini makin meresahkan dan masif di Pulau Dewata ini. "Apakah generasi sekarang masih percaya dengan karma dan kematian dalam Hindu," katanya. Ia ingin dengan karya lukisan, ilustrasi, film hingga instalasi di Museum Arma ini, mampu menyadarkan masyarakat Bali.
Agar mau kembali ke agama leluhur, menjalankan bagaimana Tri Hita Karana itu diwariskan oleh leluhur dalam menjaga hubungan dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.
Agung Rai, pendiri dan pemilik Arma Museum juga merasakan keresahan yang sama. "Kemana Bali ini dibawa ke depan?," katanya. Seandainya tidak bisa mengelola alam dan budaya. Sebab itu adalah akar atau roots yang menjadi daya tarik Bali. Ia pun berharap pameran ini akan menjadi titik balik kesadaran menjaga alam, budaya dan kemanusiaan khususnya di Bali. (*)