Saat ini penyumbang emisi terbesar dari pembangkit listrik yang bersumber dari batu bara dan minyak.
Penyumbang kedua dari transportasi.
Meski Bali tidak memiliki sumber gas, tapi lebih memungkinkan berdasarkan kajian.
Kalau Sumatera dan Kalimantan memang masih memanfaatkan batu bara karena memiliki sumber batu bara.
Bagaimana dengan tenaga surya? Giriantari menjelaskan, dibutuhkan lahan luas jika memanfaatkan energi surya.
Satu megawatt membutuhkan lahan 1 hektar, sedangkan PLTG dengan 200 megawatt, lahan yang dibutuhkan 10 hektare.
“Kalau dengan PLTS 200 mw butuh 200 hektare. Memang fokus atap rumah warga, tapi tidak bisa sembarangan semua dipasangkan,” terangnya.
Kata Giriantari, PLTU yang ada diminta beralih ke PLTG kalau tidak, izin beroperasi akan dicabut.
Target tahun 2045 PLTU harus pensiun.
Wacana pembangunan gas juga ada kelemahan, Bali belum memiliki sumber gas, rencananya Bali akan mengimpor dari LNG Tangguh, Papua.
Tidak hanya di Papua, daerah yang dekat dengan Bali memiliki sumber gas adalah Bontang, Kalimantan Timur.
“Yang terdekat di Bontang. Ya memang belum (Mandiri energi) karena segi energi suplai dan mentahnya masih belum (mandiri),” ujarnya.
Lebih dari itu, dengan LNG diakui memiliki dampak terhadap lingkungan yang telah ada kajian ilmiahnya.
Namun, Giriantari menegaskan PLTG menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan minyak. Itu sudah berdasarkan kajian yang telah dilaksanakan.
”Ya memang harus masa transisi dari LNG nanti full energi terbarukan,” tandasnya.