Namun, Aryantha mengapresiasi karena kedua mahasiswa itu bisa menghasilkan karya dalam waktu singkat, tak lebih dari enam bulan. “Keduanya akan menjadi contoh guru yang menulis,” ujar Aryantha.
Dukungan juga diberikan mantan jurnalis sekaligus sastrawan AA Sagung Mas Ruscitadewi. Senada dengan Aryantha, Mas Ruscitadewi juga menilai program ini memberi ruang bagi mahasiswa untuk tetap sukses dalam kariernya sebagai guru tetapi juga mengarang.
“Ke depan mahasiswa yang memang berbakat dan berminat bisa diarahkan lebih awal dan belajar dari berbagai pengarang,” kata Mas Ruscitadewi.
Ketua Komunitas Wartawan dan Penulis Budaya (Kawiya) Bali, Putu Suryadi juga salut dengan langkah UPMI Bali. Menurutnya, melalui tugas akhir nonskripsi yang memungkinkan mahasiswa menyelesaikan studi dengan menulis karya sastra atau jurnalistik membuka jalan bagi mahasiswa untuk menghasilkan karya kreatif yang bermanfaat bagi dunia literasi, bukan sekadar karya akademik yang hanya dibaca di kampus.
“Terobosan ini perlu ditiru oleh kampus-kampus lain di Bali,” kata Suryadi. Wakil Rektor I UPMI Bali, Ida Ayu Agung Ekasriadi menyebut buku hasil tugas akhir mahasiswa Prodi PBID yang melalui proses yang tidak mudah sebagai bukti kualitas lulusan UPMI Bali.
“Inilah makna lulusan tanpa skripsi, bukan tanpa perjuangan, melainkan dengan karya yang dapat dibaca, dinikmati, dan diwariskan,” katanya.
Dekan FBS UPMI Bali, I Made Sujaya menegaskan tugas akhir nonskripsi sebagai terobosan tetap menjaga kualitas lulusan.
Mahasiswa yang mengambil tugas akhir proyek inovatif karya sastra, atau jurnalistik mesti dibimbing atau diuji oleh praktisi sehingga karya yang dihasilkan diakui kalangan sastrawan atau jurnalis. “Itu sebabnya, kami bekerja sama dan melibatkan sastrawan atau wartawan untuk menjaga kualitas karya nonskripsi ini,” kata Sujaya. (*)