Demo di Bali
Kasus Intimidasi Jurnalis di Bali, Kapolda: Kami Tidak Pernah Tahu, Semua Sama
Wartawan Detikbali, Fabiola Dianira, yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan diduga oleh aparat kepolisian resmi menempuh jalur hukum.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kapolda Bali, Irjen Pol Daniel Adityajaya buka suara terkait kasus intimidasi terhadap jurnalis saat bertugas dalam peliputan aksi demo Sabtu 30 Agustus 2025 lalu, yang diduga pelakunya adalah seorang aparat.
Menurutnya, hal itu terjadi karena merupakan ketidaktahuan anggota yang bertugas di lapangan terhadap yang diduga korban adalah seorang jurnalis, karena tidak sedikit warga yang turut merekam kejadian, dan semua sama tidak ada tanda kewartawanan yang terlihat jelas.
"Kami selaku anggota Polri menghormati profesi pers wartawan dalam meliput ketika terjadi sesuatu dalam kondisi saat itu, kami tidak pernah tahu, semua sama, tidak ada tulisan pers, semua merekam, kalau pers kami tidak akan melakukan itu," jelas Kapolda Bali.
Irjen Pol Daniel Adityajaya menyampaikan permohonan maaf apabila ada anggota di lapangan yang melakukan perbuatan tersebut yang tentunya akan ditindaklanjuti oleh kepolisian sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Baca juga: Perlu Verifikasi, Peran Jurnalis Tak Dapat Digantikan AI
"Mohon maaf apabila ada anggota di lapangan melakukan kegiatan yang membuat tidak berkenan, hal ini bisa diklarifikasi, jika ada keberatan ada proses hukum dan melihat kondisi di lapangan," ujarnya.
"Kami tidak tahu karena hampir semua merekam, kalau media tentu kami sangat hormati," sambung Kapolda Bali.
Sebelumnya diberitakan, Wartawan Detikbali, Fabiola Dianira, yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan diduga oleh aparat kepolisian resmi menempuh jalur hukum.
Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Nia sapaan karibnya melaporkan kejadian yang menimpanya ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bali.
Laporan tersebut akhirnya diterima Polda Bali setelah memakan waktu cukup panjang hampir 12 jam dari Sabtu 6 September 2025 pukul 15.00 WITA hingga Minggu 7 September 2025 pukul 02.14 WITA dini hari.
Proses pelaporan kasus intimidasi dan kekerasan ini cukup alot lantaran Koalisi Jurnalis Bali ingin kasus intimidasi dan kekerasan ini menggunakan Undang-undang Pers.
Tim kuasa hukum, Fabiola Dianira dan teman-teman jurnalis yang mendampingi terpaksa bolak balik dari SPKT ke Kantor Direktorat Reserse Kriminal Khusus guna mendesak kasus ini bisa dijerat dengan UU Pers.
Laporan akhirnya resmi diterima Polda Bai dengan nomor Laporan Polisi Nomor LP/B/636/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 6 September 2025 dan Nomor LP/B/637/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 7 September 2025.
Koalisi Jurnalis Bali pun mendesak Kepolisian Daerah Bali menindaklanjuti laporan dengan serius dengan mengusut secara tuntas.
Diketahui Nia mendapat perilaku intimidasi dan kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, pada Sabtu 30 Agustus 2025 lalu.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite, berharap agar Polda Bali objektif melihat setiap fakta dalam kasus ini meski terlapor sesama polisi.
"Dan pelaku dalam peristiwa ini turut mendapatkan pertanggung jawabannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak terjadi impunitas." kata Rhadite di Polda Bali, Minggu 7 September 2025 dini hari.
"Artinya pelaku ini tidak dibiarkan lepas begitu saja, namun mendorong agar diberikan sanksi yang berat," sambungnya.
Adapun pasal yang dilaporkan adalah Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dan Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) jo. Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 10 ayat (1) huruf d dan f; Pasal 12 huruf e dan g; dan Pasal 13 huruf m Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
"Dalam hal ini melaporkan dugaan tindak pidana menghalang-halangi dan melakukan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik, pemaksaan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan," jelasnya.
"Serta sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses perangkat milik jurnalis serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga orang personel Polri yang belum diketahui identitasnya," jabar Rhadite.
Menurutnya, kasus ini perlu dilanjutkan ke ranah hukum karena tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran serius baik terhadap demokrasi dan kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Ditegaskan dia kasus ini penting diselesaikan secara hukum untuk memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan polisi kepada jurnalis.
Seluruh jurnalis yang turut menjadi korban aksi intimidasi dan kekerasan polisi juga agar berani menempuh jalur hukum.
"Jadi laporan ini menjadi upaya untuk menciptakan preseden. Kalau kita biarkan ke depan akan sangat mungkin terjadi kekerasan-kekerasan kepada kawan-kawan jurnalis," ujarnya.
Dalam laporan ini, Rhadite melampirkan sejumlah bukti tindakan intimidasi dan kekerasan polisi, yakni kartu pers Fabiola Dianira, surat tugas peliputan dan dua orang saksi.
Tim kuasa hukum juga melampirkan petunjuk berupa titik lokasi rekaman CCTV yang dapat menunjukkan peristiwa tindakan intimidasi dan kekerasan polisi.
Sementara itu, Kordiv Gender dan Kemitraan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, Ni Kadek Novi Febriani, mengapresiasi keberanian Fabiola Dianira melaporkan tindakan intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota Polri.
Menurutnya, Fabiola Dianira adalah bukti jurnalis perempuan pemberani melawan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis.
Lanjut Febri, kebebasan pers adalah kunci sebuah negara demokratis yang tidak dapat ditawar.
Hal yang dialami Fabiola Dianira menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Padahal, dalam kondisi politik-sosial yang bergejolak justru publik membutuhkan berita yang akurat, independen dan bisa dipercaya.
Pihaknya menilai aparat kepolisian seharusnya bisa menjamin kebebasan pers. Pasalnya, kekerasan dan intimidasi tak bisa dibiarkan begitu saja, karena kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Pada Pasal 8 UU Pers disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka adanya tindakan kekerasan dialami oleh jurnalis saat meliput aksi 30 Agustus adalah pelanggaran hukum dan demokrasi," tegasnya.
Febri berharap tidak ada lagi jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi.
Selain itu, AJI Kota Denpasar dengan tegas mengecam segala kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis saat meliput aksi pada 30 Agustus lalu.
Kemudian, menuntut Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali mengusut dan menghukum aparat yang mengintimidasi jurnalis.
"Kami meminta polisi secara profesional mengungkap kasus kekerasan, juga menjamin kebebasan pers," tandasnya.
Fabiola Dianira adalah salah satu jurnalis yang jadi korban kekerasan polisi saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, Sabtu 30 Agustus 2025.
Salah satu hal yang disoroti massa aksi terkait kenaikan tunjangan DPR dan tewasnya sopir ojol Affan Kurniawan.
Fabiola Dianira diintimidasi karena hendak merekam sejumlah tindakan dugaan kekerasan aparat saat membubarkan massa aksi, yaitu massa ditendang, dipukuli dan diborgol.
Kendati sudah menyatakan diri sebagai jurnalis, sekitar 3-4 orang polisi berpakaian serba hitam mengintimidasi dengan melarangnya mengambil foto.
Tak hanya itu, kedua tangan Fabiola Dianira dicengkram dua orang anggota polisi.
Salah satu di antara mereka selanjutnya merampas dan memaksa membuka ponselnya memastikan tidak ada dokumentasi kebrutalan pembubaran massa.
Akibat dari kejadian itu, Fabiola Dianira mengalami depresi hingga terpaksa menjalani pemulihan psikologis. (*)
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.