Berita Bali

Prof I Wayan Dibia Luncurkan 3 Buku Sastra di Bali, Rayakan 50 Tahun Pernikahannya

Prof. Dibia menuturkan, peluncuran tiga buku ini bukan sekadar perayaan pencapaian kreatif, melainkan juga ungkapan rasa syukur

istimewa
Pelaksanaan peluncuran 3 buku sastra karya Prof. Dibya . Prof I Wayan Dibia Luncurkan 3 Buku Sastra di Bali, Rayakan 50 Tahun Pernikahannya 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Prof. Dr. I Wayan Dibia meluncurkan tiga buku sastra sekaligus.

Tiga buku yang diluncurkan meliputi kumpulan puisi Bali “Gumi Inguh Tan Pasuluh”, kumpulan puisi berbahasa Indonesia “Temali Batin: Gitakara Panca Dasa Warsa Grhasta”, dan novel “Satu Kapal Dua Cinta.”

Peluncuran ini digelar bersama Asosiasi Seniman Singapadu di Gedung Geoks Singapadu, Sukawati, Gianyar. 

Momen ini juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun pernikahan Prof. Dibia bersama istri tercinta, Dr. Ni Made Wiratini.

Baca juga: Profil Ketut Putrayasa, Seniman Patung Dibalik The Octopus Queen Nusa Penida 

Ketiga buku itu juga menambah daftar panjang karya Prof Dibya yang telah menulis 65 buku, dengan 17 di antaranya merupakan karya sastra.

Acara yang juga dirangkai dengan sesi bedah buku ini dihadiri para seniman dan sastrawan Bali

Tiga narasumber hadir memberi pandangan, yakni I Dewa Gede Windhu Sancaya, Ni Nyoman Ayu Suciartini, dan Jero Penyarikan Duuran Batur (I Ketut Eriadi Ariana). 

Selain itu, Jro Happy Salma tampil membaca satu adegan dari novel Satu Kapal Dua Cinta, disusul pembacaan puisi oleh I Gde Nala Antara.

Prof. Dibia menuturkan, peluncuran tiga buku ini bukan sekadar perayaan pencapaian kreatif, melainkan juga ungkapan rasa syukur atas perjalanan rumah tangga yang telah mencapai setengah abad.

“Hari bersejarah bagi saya dan istri. Kami bersyukur bisa menjalani perkawinan selama 50 tahun. Rasa syukur itu saya wujudkan melalui tiga karya sastra terbaru ini,” ujarnya.

Ia menilai bahwa sastra dan seni pertunjukan merupakan dua hal yang saling berkaitan. 

Menurutnya, menulis puisi atau novel tidak jauh berbeda dengan menata koreografi tari.

“Saya menggali peristiwa-peristiwa tari dan menyajikannya dalam format lain. Puisi dan novel menjadi ruang untuk mengolah pengalaman seni menjadi ekspresi puitik,” ungkapnya.

Buku Gumi Inguh Tan Pasuluh disebut sebagai refleksi kegelisahan seorang seniman terhadap perubahan tata krama masyarakat modern, termasuk lunturnya penghormatan terhadap orang tua. 

Sementara Satu Kapal Dua Cinta mengangkat kisah perjalanan para seniman era 1967 yang berkeliling NTB hingga NTT dengan sarana terbatas demi pementasan seni. 

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved