Human Interest Story

Menganyam Harapan di Balik Bambu Kukusan: Kisah Jatiasih, Si Guru Masa Depan dari Bangli

i Desa Kubu, Bangli, matahari pagi selalu menyambut Ni Made Jatiasih dengan aroma khas bau asap kayu bakar

Tribun Bali/I Komang Apriadi Gunawan
MENGANYAM - Pelajar kelas 8 SMP Negeri 2 Bangli, Ni Made Jatiasih membantu ibunya Ni Nyoman Menthik menganyam Kukusan sekaligus menjadi anyaman harapan cita-cita sebagai Guru di masa depan. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Di Desa Kubu, Bangli, matahari pagi selalu menyambut Ni Made Jatiasih dengan aroma khas bau asap kayu bakar dan serpihan bambu kering.

Bagi gadis kelas 8 SMP Negeri 2 Bangli ini, rutinitas itu adalah lagu perjuangan keluarga.

Jatiasih, atau akrab disapa Jati, adalah anak kedua dari pasangan Ni Nyoman Menthik dan I Nengah Tugu.

Baca juga: 5 Fakta Kecelakaan yang Tewaskan Komang Gede di Sirkuit Drag Race Bangli, Sampaikan Firasat Buruk

Ayahnya buruh proyek, sementara ibunya seorang penganyam kukusan alat masak nasi tradisional dari bambu. 

Keterbatasan ekonomi tak pernah meredupkan semangat Jati.

Di tengah kondisi keluarga yang sederhana, ia telah menunjukkan kemandirian luar biasa, membantu orang tuanya membuat kukusan demi membiayai sekolahnya. 

Baca juga: Saat Buang Sampah, Sukerni Tergelincir Jatuh Ke Jurang, Polres Bangli: Hati-hati Saat Beraktivitas

Hasil anyaman inilah yang menjadi denyut nadi biaya pendidikan Jati dan dua saudaranya.

"Sehari-hari, saya bisa buat 10 kukusan. Dijual ke pengepul, satu harganya hanya Rp 8.000," tutur Ni Nyoman Menthik saat menceritakan kisahnya kepada Tribun Bali, pada Selasa 28 Oktober 2025.

"Kami selalu berusaha agar anak bisa bersekolah," sambung Ni Nyoman Menthik, air mukanya menunjukkan kebanggaan sekaligus haru. 

Baca juga: Hijaukan Bangli Bali, Pemerintah Siapkan 2.000 Bibit Pohon, 500 Pegawai Diterjunkan

Uang yang tak seberapa itu harus diputar untuk makan, kebutuhan harian, dan, yang paling utama, mimpi sekolah anak-anaknya.

"Saya mendukung saja, ternyata dia ingin jadi guru,"  jabarnya yang baru mengetahui cita-cita anaknya menjadi guru dalam wawancara ini.

Hebatnya, Jati tak hanya menunggu.

Sejak kelas 6 SD, ia telah menjadi mitra kerja ibunya.

Jatiasih bukan hanya fokus belajar, ia adalah tulang punggung kecil bagi keluarganya dengan keterampilannya membuat kukusan.

"Pulang sekolah, saya langsung bantu ibu bikin kukusan," ujar Jatiasih.

"Memang niat membantu, supaya ibu cepat kerjanya, untuk biaya sekolah saya."imbuh dia

Bantuan Jati tak berhenti di anyaman. Sebelum bergegas ke sekolah, atau sepulang berjalan kaki 30 menit dari sekolahnya, ia mencari kayu bakar di pangkung (lereng jurang) untuk memasak. 

Mencuci piring, menyapu, semua dikerjakan tanpa keluhan.

Sambil menganyam, Jati belajar mengatur Rp 10.000 bekalnya yang hanya cukup untuk nasi dan air putih.

Sarapan sering kali didapatkan dari program Makanan Bergizi gratis di sekolah, karena di rumah, waktu tak memungkinkan.

"Ingin Membanggakan Orang Tua," ucap Jati mengungkapkan asanya.

Meskipun biaya serba terbatas dan pernah mengalami keterlambatan bayar, semua kelengkapan sekolah terpenuhi berkat bantuan PIP (Program Indonesia Pintar). 

Jati yang menggemari pelajaran Bahasa Indonesia dan PPKN ini pun tetap semangat mengejar mimpinya. 

"Pelajaran paling saya suka Bahasa Indonesia dan PPKN," katanya.

Saat ditanya tentang cita-cita, mata Jati berbinar. Ia hanya ingin berada di depan kelas, di balik meja guru, menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. 

"Saya cita-cita ingin menjadi guru. Ingin membanggakan orang tua, ingin berbagi ilmu," ungkapnya penuh tekad. 

Impiannya itu lahir dari kekagumannya melihat cara para guru di sekolah membimbing dan membina. 

Ia bahkan ingin melanjutkan ke SMK 4 untuk belajar tari.

Di tengah keterbatasan, sekolah adalah satu-satunya pelabuhan harapan Jati.

Guru BK-nya, Ni Wayan Sri Darmayanti, S.Pd, menyebut bahwa Jati adalah mutiara di sekolah.

Semangat Jatiasih juga diamini oleh Wayan Sri yang menuturkan bahwa Jatiasih adalah anak yang rajin, memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan suka membantu teman.

"Kesehariannya dari kelas 7 sampai sekarang tidak ada kendala. Anaknya rajin, tugas dikerjakan dengan baik, bisa tetap mengikuti pelajaran, tugas kelompok bisa berdiskusi," jelas Wayan Sri.

Meskipun pernah mengalami keterlambatan pembayaran sekolah, hal itu tidak menjadi kendala berarti karena ada bantuan PIP yang menunjang kelengkapan belajar Jatiasih.

Wayan Sri pun sangat mengapresiasi cita-cita Jatiasih menjadi guru.

"Dia sering melihat guru di sekolah, cara mengajar, membimbing, membina. Dia terkesan dan termotivasi jadi seorang guru," ucap dia.

Kisah Jatiasih menggambarkan harapan di hunian yang sederhana, seorang gadis muda sedang menganyam kukusan.

Bukan hanya sebagai alat masak, tetapi sebagai jembatan menuju kelas, tempat ia kelak akan berbagi ilmu dan membanggakan orangtuanya. (*)

 

 

Berita lainnya di Human Interest

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved