bisnis

BANK Indonesia Waspadai Lonjakan Inflasi Pangan, Ekonom Prediksi Berlanjut hingga Maret 2026

Gubernur Bank Indonesia (BI)  Perry Warjiyo mewaspadai inflasi kelompok volatile food atau inflasi pangan yang sudah mulai meningkat

kontan.co.id
Gubernur Bank Indonesia (BI)  Perry Warjiyo mewaspadai inflasi kelompok volatile food atau inflasi pangan yang sudah mulai meningkat beberapa waktu terakhir. 

TRIBUN-BALI.COM - Gubernur Bank Indonesia (BI)  Perry Warjiyo mewaspadai inflasi kelompok volatile food atau inflasi pangan yang sudah mulai meningkat beberapa waktu terakhir.

Ia membeberkan, harga-harga pangan yang bergejolak pada beberapa waktu terakhir mulai meningkat, bahkan pada Oktober 2025 meningkat menjadi 6,59 persen, terutama didorong peningkatan harga beberapa komoditas bahan pokok seperti cabai merah, dan telur ayam ras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Sektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan inflasi mencapai 6,59 % year on year (YoY), dengan andil sebesar 1,05 % , didorong oleh kenaikan harga cabai merah, beras, bawang merah, dan daging ayam ras.

“Kondisi ini memerlukan koordinasi lebih lanjut antara BI dan juga pemerintah pusat dan daerah,” tutur Perry saat rapat kerja dengan komisi XI DPR RI, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, ia memperkirakan pada tahun 2025-2026 mendatang inflasi secara keseluruhan masih akan terjaga rendah dalam sasaran 2,5 % plus minus 1 % , baik karena terkendalinya inflasi inti, demikian juga ekspektasi inflasi yang terjangkar, dan juga inflasi impor yang terkendali. 

“Tentu saja terkendalinya inflasi itu memerlukan koordinasi yang lebih erat di tim pengendalian inflasi baik pusat, daerah dan implementasi dari gerakan nasional pengendalian inflasi pangan,” tandasnya.

Baca juga: TEGAS! Pemprov dan DPRD Bali Bahas Ranperda Perlindungan Pantai  dan Sempadan di Bali, Koster Sindir

Baca juga: POLRI Bisa Duduki Jabatan Luar? Ini Pandangan Ahli Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi 

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai, kondisi tersebut wajar terjadi pada periode musim hujan.

Setelah masa panen berlalu dan musim hujan berlangsung, harga pangan cenderung merangkak naik karena adanya gangguan dari sisi suplai produksi serta kendala distribusi di lapangan.

Terkait perkembangan ke depan, ia menyampaikan bahwa tingginya inflasi volatile food diproyeksikan dapat berlangsung hingga Maret 2026. “Itu karena pada bulan tersebut ada Lebaran, terus juga bulan Februari 2026 ada bulan puasa ya (yang mendorong banyak permintaan),” tutur Myrdal, Jumat (14/11).

Ia menambahkan, pada Januari 2025 permintaan juga cenderung meningkat akibat musim hujan, dan pada Desember 2025 terjadi puncak musim liburan akhir tahun. Meski demikian, ia menilai inflasi secara umum untuk tahun depan masih relatif terjaga.

Ia memproyeksikan inflasi tahun depan berada di kisaran 2,6 % secara year-on-year. Ia menilai bahwa kondisi tersebut tidak akan banyak mempengaruhi daya beli. Menurutnya, daya beli masyarakat justru menunjukkan perbaikan, terutama pada pembelian barang tahan lama atau durable goods.

Myrdal juga menambahkan bahwa pembelian emas perhiasan menjadi salah satu pendorong utama inflasi Indonesia. Selain itu, penjualan sepeda motor mulai meningkat secara bertahap. “Pembelian mobil pada Oktober 2025 juga tercatat naik cukup tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, bahkan menjadi yang tertinggi secara bulanan sepanjang tahun 2025,” jelasnya.

Lebih lanjut, Myrdal membeberkan, karena faktor-faktor tersebut bersifat musiman, ia menilai dampaknya terhadap daya beli masih minim. (kontan)

Deflasi di Bulan November 2025

Dalam kesempatan berbeda, Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan, Bank Permata Faisal Rachman menilai, apabila melihat data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) terakhir, di bulan November 2025 hingga kemarin Jumat (14/11), inflasi pangan secara umum sudah mencatatkan deflasi.

“Namun sebagian komoditas masih mencatatkan inflasi, seperti daging sapi, telur ayam, dan bawang merah. Tapi inflasinya jika dibanding bulan lalu sudah sangat mengecil,” jelasnya.

Faisal menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang membuat inflasi pangan cenderung persisten, seperti anomali cuaca, serta tingginya permintaan dari sisi pemenuhan makan bergizi gratis (MBG) dan permintaan seasonal menjelang akhir tahun. 

Ke depan, ia memperkirakan inflasi pangan perlu untuk terus diwaspadai apalagi permintaan terkait MBG tahun depan akan melonjak. “Kebijakan MBG harus diikuti kebijakan ketahanan pangan yang efektif pula agar inflasi pangan dapat terus terjaga,” tandasnya. 

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menargetkan rata-rata inflasi sebesar 2,62?lam Rencana Anggaran Tahunan Bank Indonesia (RATBI) 2026. Target tersebut meningkat dari Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2025 sebesar 2,50 % , dan diperkirakan menurun menjadi 2,01 % .

Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjio menyampaikan, target inflasi di 2026 tersebut masih dalam batas sasaran BI yakni 2,5 % plus minus 1 % . “Inflasi kami perkirakan sebagai dasar ATBI adalah 2,62 % , dan masih dalam batas sasaran 2,5 % plus minus 1 % ,” tutur Perry.

BI memperkirakan, dengan kapasitas ekonomi yang masih besar inflasi impor diperkirakan tetap terkendali di 2026, dan dampak positif dari digitalisasi. Sementara itu, inflasi volatile food atau inflasi pangan juga diperkirakan tetap terkendali didukung oleh sinergi pengendalian inflasi oleh tim Pengendalian Inflasi Pusat/Daerah (TPIP/TPID) dan penguatan implementasi Gerakan Nasional Pengendalian Pangan atau GNPIP. (kontan)

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved