Satu Juta Lebih Lulusan Kampus Jadi Pengangguran, Ratusan Rektor Se-Indonesia Kumpul di Bali
Kekhawatiran tingginya angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi, yang mencapai 1,01 juta orang pada tahun 2025
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kekhawatiran tingginya angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi, yang mencapai 1,01 juta orang pada tahun 2025 menurut data Badan Pusat Statistik, memicu ratusan rektor dari seluruh Indonesia untuk berkumpul dan mencari solusi strategis di Bali.
Masalah ini dibahas dalam Executive Workshop SEVIMA bertajuk “From Outcome to Outshine: Kupas Tuntas Kurikulum Outcome-Based Education (OBE) untuk Memimpin Kampus Menuju Kelas Dunia” di Prime Plaza Hotel Sanur Denpasar, Bali, pada Kamis 6 November 2025.
Baca juga: Kemenpora RI Gelar Tarkam 2025 di Gianyar Bali, Wujud Budayakan Olahraga
Para pimpinan kampus bersepakat bahwa penerapan kurikulum berbasis hasil (Outcome-Based Education/OBE) adalah kunci untuk mencetak lulusan yang siap kerja dan berdaya saing global.
Direktur Politeknik Pariwisata Bali, Dr. Ida Bagus Putu Puja, M.Kes, yang juga membuka acara, menjelaskan esensi dari OBE.
Ia menyebut kurikulum ini sebagai paradigma pendidikan yang berfokus pada hasil.
"Bisa dipahami sebagai paradigma pendidikan yang berfokus pada hasil seseorang bisa melakukan apa setelah belajar. Bukan hanya sekedar proses dan ujian dari pembelajaran tersebut," kata dia.
Menurutnya, transformasi ini sangat penting sebagai wujud konkrit pengabdian perguruan tinggi kepada masyarakat, yaitu memberikan ilmu dan pendidikan yang berguna dan dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dalam bekerja dan beraktivitas.
Baca juga: 10 Kampus Terbaik di Bali, Ada Pendidikan Agama Hindu hingga Universitas Tertua
"Dengan kurikulum OBE, kita dapat mencetak lulusan unggul yang sesuai kebutuhan industri. Misalnya di Pariwisata Bali, yang penting bukan hanya teori pariwisata, tapi setelah lulus, dia bisa mempromosikan destinasi wisata Bali yang ia kelola kepada dunia, " tuturnya.
Diskusi mendalam dalam workshop ini, yang menghadirkan narasumber utama seperti Kepala LLDIKTI Wilayah XV Prof. Dr. Adrianus Amheka, M.Eng.
Kemudian Direktur Politeknik Negeri Ketapang periode 2018–2022 Endang Kusmana, M.M., Ak., CA. serta Guru Besar Universitas Trunojoyo Madura & Customer Strategic Manager SEVIMA Prof. Wahyudi Agustiono, M.Sc., Ph.D.
Mereka merumuskan empat strategi kunci implementasi OBE. Prof. Wahyudi Agustiono menekankan bahwa OBE menuntut kolaborasi lintas disiplin. Ia mencontohkan kebutuhan industri kesehatan global.
"Jadi kurikulum OBE akan merumuskan spesifik aktivitas berbasis project based yang bisa mengasah tidak hanya hardskill anak-anak di bidang anatomi keperawatan, tapi juga mengkomunikasikannya dalam istilah medis berbahasa Inggris," kata dia.
"Sehingga lulusan kampus nantinya tidak kalah bersaing dengan lulusan Filipina," sambungnya.
Ia menegaskan OBE menjadi syarat akreditasi unggul. Jika ingin akreditasi unggul, perguruan tinggi harus punya sistem OBE yang baik, dan menyusun sistem ini tidak bisa satu bidang saja.
“Masih banyak kampus yang memahami kurikulum sebatas dokumen administratif. Padahal kurikulum adalah perubahan paradigma dari sekadar mengajar menjadi menjamin hasil belajar mahasiswa sesuai standar global. Jika ingin lulusan siap kerja, jangan hanya ubah dokumen, tapi juga ubah cara berpikir tentang pendidikan itu sendiri, " bebernya.
Transformasi pola pikir dosen dari teaching-based berfokus pada ceramahbmenjadi student-centered learning berfokus pada praktik dan skill mahasiswa adalah hal krusial.
Direktur Politeknik Negeri Ketapang periode 2018–2022 Endang Kusmana menyatakan bahwa mahasiswa harus menjadi lifelong learners yang siap menghadapi era AI, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dan future skills yang terus berkembang.
Pemberian penghargaan recognition system bagi inovasi menjadi pendorong budaya mutu.
“OBE mendukung transformasi institusi menjadi kampus yang responsif terhadap perubahan global dengan membangun budaya mutu berkelanjutan sebagai investasi masa depan kampus," tutur Endang.
Lanjut Endang, digitalisasi memungkinkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas.
"Perguruan tinggi harus membuktikan kualitas lulusan secara sistematis dan terukur dengan transparansi capaian pembelajaran dan pertanggungjawaban kepada stakeholder," tutur dia.
“Kampus di daerah harus kreatif menggunakan teknologi terbuka. Digitalisasi bukan semata alat, tapi budaya baru dalam tata kelola akademik," sambungnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala LLDIKTI Wilayah XV, Prof. Dr. Adrianus Amheka, M.Eng., menyoroti pentingnya sinergi antar civitas akademika.
“OBE bukan hanya pekerjaan satu program studi. Ini proyek institusional yang memerlukan kolaborasi dosen, pimpinan, dan industri," bebernya.
“Kita tidak lagi bicara berapa lama mahasiswa kuliah, tetapi apa yang benar-benar mereka kuasai setelah lulus, " jabarnya.
Dari sisi teknologi, Chief Marketing Officer SEVIMA, Andry Huzain, menyatakan, sampai pada tahun 2025 ini, 1.200 kampus yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA terus mendorong dan mendigitalisasi pendidikan tinggi secara gotong royong.
"Tak hanya itu, SEVIMA juga memberikan pemerataan pendidikan untuk terciptanya digitalisasi perguruan tinggi, termasuk di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), " ujar Andry.
Senada dengan Andry, Pakar Digitalisasi Perguruan Tinggi dari SEVIMA Aditya Rhesa Firmansah menyampaikan bahwa tugas SEVIMA adalah menyelesaikan masalah dari perguruan tinggi.
"Hari ini adalah momen yang tepat, di mana visi SEVIMA terus berperan aktif merevolusi pendidikan tinggi di Indonesia, dan digitalisasi adalah solusi untuk menerapkan kurikulum yang bisa menjadi resep bangsa ini dalam mengentaskan pengangguran," pungkasnya. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.