Serba Serbi

Hari Ini Ada Pantangan untuk Membuat Jembatan, Bepergian dan Matenung

Titi Buwuk dimaknai sebagai hari pantangan membuat jembatan dan sejenisnya, juga tidak baik untuk bepergian dalam usaha mencari solusi permasalahan

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Saiful Rohim
(Ilustrasi. Foto tidak terkait berita) PUTUS - Warga Bukit Galah, Dusun Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat sedang bergotong-royong membuat jembatan darurat, Jumat (30/11/2018). 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pada hari ini, Kamis (17/1/2019), dalam susunan kalender Bali terdapat Titi Buwuk.

Hal ini tertulis dalam kalender yang disusun oleh Alm. I Ketut Bangbang Gede Rawi dan putra-putranya.

Dalam buku Ala Ayuning Dewasa Ketut Bambang Gede Rawi yang ditulis oleh Ida Bagus Putra Manik Ariana dan Ida Bagus Budayoga juga dijelaskan mengenai kehadiran dari Titi Buwuk tersebut.

Titi Buwuk dimaknai sebagai hari pantangan membuat jembatan dan sejenisnya, juga tidak baik untuk bepergian dalam usaha mencari solusi permasalahan (matedung/matenung) dan sebagainya.

Titi Buwuk ini merupakan ala ayuning dewasa berdasarkan pertemuan antara Wuku dengan Saptawara.

Dalam susunan kalender Bali memang dikenal istilah ala ayuning dewasa yang berarti baik-buruknya suatu hari dalam melakukan aktivitas atau kegiatan tertentu.

Dewasa atau padewasan yang biasa disebut ilmu wariga ini, seperti yang dijelaskan dalam buku Ala Ayuning Dewasa Ketut Bambang Gede Rawi tersebut adalah cara untuk mengidentifikasi hari yang baik dan hari yang jelek (buruk).

"Jelasnya (padewasan itu adalah) pengetahuan untuk menentukan hari baik dan hari jelek," tulisnya lagi.

Cakupan mengenai ala ayuning dewasa ini sangatlah luas dengan menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia melalui perhitungan parameter tertentu.

Perhitungan yang dimaksud berupa pawintangan yang ditetapkan berdasarkan letak bintang dalam mengelilingi matahari; sasih yang berhubungan dengan penentuan musim berdasarkan peredaran gerak semu matahari dan juga bulan yang mengelilingi bumi; dan wuku tentang ilmu ruas-ruas kumpulan binatang tertentu yang berporos di bumi.

Selain itu, juga berpedoman pada wawaran yakni tentang nama-nama hari dan dedaunan yang dipakai sebagai ilmu pembagian waktu dalam satu hari.

Menurut Ida Pandita Empu Yogiswara di Griya Manik Uma Jati, dalam ala ayuning dewasa ini memang tidak terlepas dari adanya wariga-wariga seperti wuku, ingkel dan di dalamnya terdapat larangan-larangan.

Ida Pandita pun menjelaskan bahwa ala ayuning dewasa ini juga tidak terlepas dari adanya ala ayuning dina (hari), ala ayuning sasih (bulan) dan ada ala ayuning nyet (pikiran).

Jadinya, meski ada larangan-larangan namun jika pelaksana kegiatan memiliki pemikiran yang positif maka hal tersebut boleh dilakukan.

"Sekarang ada ala ayuning nyet. Nyet itu pikiran. Kalau kita memang pikiran itu hening dan tidak akan kena apapun yang namanya musibah itu, itu boleh karena kita yakin," jelasnya. (*)
 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved