Dharma Wacana

Kekeliruan Mengarak Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh ini biasanya diarak saat malam atau setelah warga selesai menggelar pecaruan, baik di rumah masing-masing, catus pata dan sebagainya

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
(Ilustrasi. Foto tidak terkait berita) Teruna Tunjung Mekar merakit kerangka ogoh-ogoh bertema Manuk Danawa di Banjar Abian Nangka Kelod, Desa kesiman petilan,Denpasar, Sabtu (19/1/2019). Dinas kebudayaan Provinsi Bali menghimbau peserta pembuat ogoh-ogoh tidak nyleneh dan berbau politik. Memasuki tahun politik 2019 ini, Pemkot Denpasar tetap akan menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh pada malam Tawur Agung Kesanga sebelum pelaksanaan Hari Raya Nyepi mendatang. 

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Selama ini, ogoh-ogoh di Bali sebagian besar mengambil bentuk raksasa, yang merupakan simbol keangkaramurkaan.

Pengarakan ogoh-ogoh biasanya dilakukan usai digelarnya Tawur Kesanga atau ‘Nyomyang Bhuta’.

Dengan mengarak ogoh-ogoh raksasa usai pecaruan, apakah hal tersebut tak membangkitkan Bhuta Kala yang telah disucikan dalam pecaruan?

Kalau kita telisik dari segi waktu atau proses urutan ritual, ogoh-ogoh ini biasanya diarak saat malam atau setelah warga selesai menggelar pecaruan, baik di rumah masing-masing, catus pata dan sebagainya.

Perlu diketahui, setelah menggelar ritual ini, maka itu artinya bahwa Bhuta Kala sudah somya.

Karena itu, seharusnya sudah tidak ada lagi aktivitas yang bersifat material.

Baca: JADWAL DAN PANDUAN Pendaftaran SNMPTN 2019 di snmptn.ac.id, Pelajari 5 Kunci Suksesnya

Baca: Banyak Anak Muda Ikut Tanda Tangan, SJB Gelar Penggalangan Cabut Remisi Susrama di Car Free Day

Lalu, kenapa kita justru kembali mengarak ogoh-ogoh, apalagi yang bentuknya menyerupai raksasa?

Menurut saya, ini merupakan sebuah penyimpangan dari ritual Tawur Kesanga.

Penyimpangan akan semakin besar jika saat mengarak ogoh-ogoh terjadi pertikaian antar desa.

Belum lagi, usai diarak, ogoh-ogoh tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa dibakar.

Kan percuma kita mecaru dari pagi sampai sore, tapi setelah itu kita kembali menodai alam dengan sifat bhuta kala.

Kalau memang ingin ada arakan ogoh-ogoh di malam hari, seharusnya pecaruan dilakukan usai pengarakan ogoh-ogoh.

Baca: Kisah Cinta Penyandang Disabilitas dengan WNA Jerman, Ketut Raka Disebut Wanita Sempurna

Baca: Quotes Romantis Valentine Day! Bukan Cuman Berlaku Bagi yang Berpasangan, Buat Jomblo Juga kok

Saat ini kondisinya terbalik, mecaru duluan baru mengarak ogoh-ogoh.

Inilah yang saya nilai tumpang tindih terhadap konsep ritual Tawur Kesanga.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved