Maskot Jadi Sorotan pada Rembug Sastra Bangli, Bukan Gumitir tapi Sekar Ini yang Dirasa Tepat
Peringatan Bulan Bahasa Bali 2019 di Kabupaten Bangli dipungkas dengan kegiatan Rembug Sastra Bangli yang berlangsung di Gedung DPRD Bangli
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Peringatan Bulan Bahasa Bali 2019 di Kabupaten Bangli dipungkas dengan kegiatan Rembug Sastra Bangli yang berlangsung di Gedung DPRD Bangli, Sabtu (16/2/2019).
Rembug sastra yang bertajuk "Sastra, Bangli lan Merdeka Seratus Persen" ini digagas oleh Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (DPK Peradah) Indonesia Bangli yang bekerja sama dengan Pengurus Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Bangli dan Komunitas Bangli Sastra Komala.
Menariknya, satu poin penting yang menjadi sorotan dalam rembug sastra ini, yakni persiapan pemerintah Kabupaten Bangli, dalam hal ini Bupati dengan DPRD Bangli, tengah memikirkan maskot yang sampai saat ini tak kunjung selesai.
Beredar kabar, maskot yang akan digunakan berupa bunga gumitir, namun dalam rembug sastra ini pilihan itu dirasa kurang tepat untuk mewakili Bangli.
I Gde Agus Darma Putra, salah satu pembicara dalam rembug sastra ini memaparkan, Sekar Padma atau bunga tunjung rasanya menjadi pilihan tepat untuk maskot kabupaten yang berada di tengah-tengah pulau Bali ini.
Dijelaskan, bahwa Padma sebagai sebuah tumbuhan purba yang memiliki nama lain Pangkaja.
Nama Pangkaja ini dibagi menjadi dua yakni Pangka yang berarti lumpur dan Ja artinya lahir, dengan bergitu Pangkaja bermakna sebagai lahir dari lumpur.
Dharma Putra mengatakan, meski Sekar Padma lahir dari lumpur, ia tidak dikotori oleh lumpur.
Karena itulah Sekar Padma ini menjadi sebuah simbol kesucian, sehingga tidak mengherankan bahwa padma ini menjadi tempat duduk atau "asana" dari para dewa-dewi.
Baca: Ida Bagus Suartama & Indra Pratama, 2 Warga Binaan di Lapas Bangli Dikeroyok 16 Napi, Ini Sebabnya
Baca: Lebih Penting Atur Jumlah Toko Modern atau Jaraknya? Ini Kata DPRD Bangli
Baca: Rata-rata 70 Guru Pensiun Tiap Tahun, Bangli Kekurangan 150 Tenaga Pengajar
Dalam makalahnya yang berjudul "Geguritan Putra Sasana: Membaca Ulang Ba[ng]li dari Dalam," Dharma Putra mengutip Kakawin Nirartha Prakrӗta yang berbunyi "dura n manduka ya pamuktya wangining tuñjung prakirneng bañu. ekhasta rahineng kulӗm tathapi tan wruh punya ning pangkaja. bheda mwang gatining madhubrata sakeng doh ndan wawang sparsaka. himpӗr mangkana mudha ning wang anukӗr jöng sang widagdheng naya".
Bunyi kakawin tersebut memiliki arti "mustahillah katak dapat menikmati wangi bunga tunjung yang banyak tersebar di air. Berhari-hari dan bermalam-malam ia tinggal di tempat yang sama, tapi tiada mengetahui keindahan bunga teratai itu. Berbeda halnya dengan si lebah, dari jauh ia sudah mengetahuinya dengan segera. Seperti itulah kebodohanku yang hanya mengotori kaki para ahli yang bijaksana"
Dijelaskan lagi oleh Dharma Putra, Petikan Nirartha Prakrӗta itu membicarakan perihal katak, kumbang, dan bunga Padma.
Katak adalah representasi dari pengarang atau orang dalam yang mengaku bodoh.
Sementara kumbang adalah representasi dari orang cerdas yang berasal dari luar.