Wawancara Khusus Prof I Nyoman Rai : Bali Tak Perlu Takut Beralih ke Pertanian Organik

Saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali bersama DPRD berinisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sistem Pertanian Organik.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana.   

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali bersama DPRD berinisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sistem Pertanian Organik.

Kajian akademis sudah rampung dan diumumkan melalui rapat paripurna internal Senin (6/5). Menurut Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Bali I Gusti Putu Budiarta,  Perda Sistem Pertanian Organik itu merupakan salah satu upaya mewujudkan Bali yang hijau.

Menanggapi pembuatan Perda tersebut, wartawan Tribun Bali I Wayan Sui Suadnyana mewawancarai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS, Selasa (7/5). Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Bapak soal rancangan Perda Sistem Pertanian Organik?

Tentu saya mengapresiasi karena paling tidak dengan adanya rencana membentuk Perda pertanian organik itu, ada redesain pemikiran dari para eksekutif dan legislatif di Bali tentang bagaimana sih pertanian Bali ke depan. Itu yang pertama jadi saya apresiasi.

Tetapi di balik itu banyak hal yang harus didiskusikan dan dibicarakan dengan akademisi, dengan pelaku pertanian, terutama sekali masyarakat petani. Karena ujung-ujungnya yang kena dampak paling ini kan masyarakat petani.

Yang perlu dibicarakan dalam Perda Sistem Pertanian Organik ini pertama tentang definisi dan lingkup pertanian organik. Pertanian organik dimaksud yang mana. Ada yang pure (murni) organik. Ada semi organik. Ada yang kombinasi antara organik, nonorganik dan sebagainya. Ini harus jelas.

Kalau pure organik itu melarang sama sekali penggunaan bahan-bahan kimia sintetis, pupuk, pestisida, kemudian benih rekayasa genetika dan lainnya. Jadi air pun sesungguhnya yang mengalir dari hulu yang di hulunya sudah menerapkan pertanian non-organik ketika air mengalir ke pertanian organik, bukan pertanian organik namanya kalau dia pure organik.

Jadi ini harus jelas definisi mana kira-kira cocok di Bali. Apakah pure organik, semi organik atau model sistem pertanian organik yang mana? Kenapa penting dibicarakan definisi dan ruang lingkup ini? Karena terkait implementasinya. Implementasi pertanian organik tentu ujung-ujungnya jangan merugikan petani.

Ketika Perda ini diterapkan nanti ada sanksi. Jangan implementasinya membuat petani menjadi terbatas pilihannya, merugikan petani. Dan, ketika hasilnya nanti organik tentu harus mendapatkan penghargaan lebih dari non organik. Petani melakukan pertanian organik, pangsa pasarnya sudah jelas belum? Sampai ke situ mesti diarahkan. Nah ini yang perlu dibicarakan secara baik ketika nanti kita tetapkan Perda Pertanian Organik. Di satu sisi saya kira baik, tetapi di sisi lain harus menggali sedalam-dalamnya agar sistem pertanian organik yang ditetapkan dalam Perda ini definisinya jelas, implementasinya tidak merugikan petani. Dan yang terpenting adalah konservasi lingkungan.

Kalau pertanian organik ini dijalankan, lalu sarana prasarana produksinya gimana? Apakah petani dibiarkan mengadakan sendiri tanpa kontribusi dari pemerintah? Ini juga harus diatur dalam Perda karena dengan urea untuk padi misalnya kita cukup mungkin 200 sampai 300 kg per hektar. Tergantung lokasinya di mana.  Fosfor misalnya, pupuk P cukup 150 sampai 250 kg per hektar.

Tetapi kalau beralih ke pertanian organik dan kalau nanti itu pure organik kan harus diganti pupuk organik. Lalu di mana petani mendapatkan itu dalam jumlah yang besar. Itu bisa berton-ton. Lalu petani yang berada di pelosok misalnya, pengangkutannya bagaimana dan sebagainya. Infrastruktur pertanian harus dipikirkan. Ketika tidak secara holistik dipikirkan saya takutkan nanti tidak jalan gitu.

Apakah akan terjadi penurunan kuantitas produki jika beralih ke pertanian organik. Bagaimana menyikapi ini?

Kalau masalah itu jangan khawatir. Petani yang sudah biasa melaksanakan pertanian konvensional dengan pupuk sintetik, pestisida sintetik dan sebagainya bisa saja beralih ke pertanian organik. Nah untuk beralih dari konvensional ke pertanian organik ada tahapannya. Tahun pertama barangkali tidak langsung bisa diklaim sebagai hasil organik. Tahun kedua barangkali juga belum. Nah tahun ketiga, keempat dan seterusnya sudah boleh dikatakan produk yang dihasilkan organik.

Ketika nanti beralih ya barangkali ada semacam penurunan produksi pada tahap transisi itu. Tapi begitu terus  dilakukan secara organik, menurut saya bukan menurun (tapi) malah meningkat karena kesehatan tanah dan lingkungan  semakin baik.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved