EKSKLUSIF Tribun Bali

Kasus Pedofilia di Bali Bagai Gunung Es

Di mana dua petugas kebersihan melakukan kejahatan seksual kepada anak umur 6 tahun, murid sekolah internasional tersebut.

Editor: Iman Suryanto
Tribun Bali/ Net
Ilustrasi Pedofilia 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Irma Yudistirani

MASIH ingat kasus pedofilia yang terjadi di Jakarta Internasional School (JIS) pada April 2014 lalu? Di mana dua petugas kebersihan melakukan kejahatan seksual kepada anak umur 6 tahun, murid sekolah internasional tersebut.

Para pelaku diancam hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.

Belum lagi FBI, biro penyelidik Amerika tiba-tiba mengungkapkan, kalau sekolah ternama di Jakarta tersebut pernah mempekerjakan tersangka pedofilia asal Amerika Serikat pada tahun 1999 sampai 2002.

Pria berusia 64 tahun ini bernama William James Vahey, mengajar sejarah dan geografi sekaligus pelatih basket. Ia bunuh diri di Minnesota AS tanggal 21 Maret 2014 lalu.

Entah bagaimana perkembangan kasus JIS saat ini. Yang pasti, sejak mencuat kasus tersebut, kasus-kasus pedofilia lainnya mulai bermunculan di tanah air kita.

Sukabumi kembali mendapat sorotan media massa yakni, tersangka Emon asal Sukabumi, Jawa Barat, yang melakukan pedofilia pada sekitar 110 anak di bawah umur.

Kasus pedofilia ini pun memicu keprihatinan Koordinator Lembaga Perlindungan Anak Bali, Siti Sapura. Siti, sapaan akrabnya mengungkapkan, rata-rata pelaku pedofilia adalah warga negara asing (WNA).

Selama menjadi staf Advokasi Hukum di lembaganya, pelaku WNA pedofilia tergolong orang yang santun dan berkemampuan dalam materi. Mereka berkemampuan membayar aparat penegak hukum (dalam hal ini kepolisian), perangkat desa, hingga keluarga korban dan korbannya sendiri.

"Mereka mulutnya ditutupi dengan uang dan jarang sekali kasus pedofilia ini sampai diputus di tingkat pengadilan," kata perempuan berusia 42 tahun ini, saat dihubungi Tribun Bali melalui selulernya, Rabu(7/5/2014).

Terlebih lagi, aparat penegak hukum baru meminta pendampingan untuk korban pedofilia, saat kasusnya dilimpahkan ke persidangan. Kejadian seperti inilah yang membuatnya miris, karena lembaga yang seharusnya wajib melakukan pendampingan (advokasi) terhadap korban pedofilia sejak awal, tidak dianggap.

"Mari pikirkan bersama-sama. Korban mengalami trauma seumur hidupnya, apabila tidak didampingi dan dibina dengan segera. Kalau sampai terlambat, ia bisa jadi pelaku pedofilia karena awalnya, hanya sekedar ingin coba-coba. Apakah mau kejadian seperti ini berlanjut?" ungkapnya.

Kasus pedofilia di Bali lanjutnya, seperti fenomena gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya lapisan tipis alias sedikit, sedangkan yang tidak terdeteksi sangatlah banyak.

Karena itulah ia berharap pemerintah harus merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak.

Apakah cukup memberikan efek jera pada pelaku pedofilia. Sementara, korban sendiri yang rata-rata adalah anak di bawah umur tidak punya kekuatan untuk membela diri dan harus melewati masa trauma yang panjang.

"Gerbang utama itu sebenarnya di tingkat kepolisian. Kalau bisa, mata rantai ini harus diputus di tingkat kepolisian. Sadarlah bahwa korban wajib didampingi sejak awal," terangnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Tags
pedofil
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved