EKSKLUSIF Tribun Bali
Orang Solo yang Jadi Bapaknya Warga Bali di Melbourne
Poedijono adalah warga Denpasar, Bali, asal Solo, Jawa Tengah. Ia sudah 40 tahun tinggal di Melbourne dan kerap menjadi orangtua asuh bagi
Laporan Wartawan Tribun Bali, Ni Ketut Sudiani dari Melbourne, Australia
“SUBE neked dije ne, bakat tongosne (sudah sampai di mana, ketemu tempatnya)?” tanya Poedijono melalui telepon selulernya, memastikan kalau saya berada di jalur kereta yang benar. Kereta melaju ke arah selatan menuju Glen Waverley, sekitar 45 menit dari kota.
SAAT ditelepon, Kamis (5/6), saya baru tiba di stasiun Kooyong, masih ada ada sembilan lagi yang harus dilalui. Meskipun terkesan jauh, tapi dengan kereta cepat itu, dari satu stasiun ke stasiun lain dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar tiga menit.
Poedijono adalah warga Denpasar, Bali, asal Solo, Jawa Tengah. Ia sudah 40 tahun tinggal di Melbourne dan kerap menjadi orangtua asuh bagi anak-anak Bali yang belajar, bekerja, ataupun yang datang untuk berpetualang.
Setibanya di Glen Waverley, seorang pria melambai dan tersenyum lebar. Poedijono tampak begitu sederhana, hangat dan bersabahat. Nada suaranya yang penuh semangat saat berberkomunikasi via telepon.
Namun saya sedikit terkejut saat bertemu langsung sosok Poedijono. Sama sekali tidak menandakan kalau ternyata ia telah berusia 75 tahun.
“Umah joh uling kota. Kanggoang ngoyong di kampungne Melbourne (rumah saya jauh dari kota, ya syukuri saja tinggal di kampungnya Melbourne). Pernah sampai ada 16 anak yang menginap. Ya, saya tampung saja, kasihan mereka,” katanya sambil tertawa ketika kami menuju ke kediamannya di 12 Cellar Lane, Wantirna South.
Selain sebagai ‘bapaknya’ warga Bali di sana, ternyata sejak 1964, hingga kini ia masih mengajari masyarakat Australia memainkan gamelan. “Melalui seni saya berkontribusi, mengenalkan budaya Indonesia. Saya berkesenian, ya, untuk membahagiakan orang lain. Kalau mereka senang, tentu saya gembira terus,” tuturnya.
Ayah dua putri yang tumbuh dalam keluarga seni itu, sejak tahun pertama di Australia sudah dilirik oleh sejumlah universitas ternama untuk hadir sebagai dosen tamu. Meskipun tidak sempat mengenyam pendidikan khusus di perguruan tinggi, namun ketekunannya melakoni kesenian, khususnya gamelan Solo, mengantar Poedijono terbang ke sejumlah negara.
“Sebelum akhirnya mengajar di Universitas Monash dan Universitas Melbourne, saya mengabdi di Kokar Bali dan pernah diundang memberi pelatihan di 35 universitas di Amerika. Mereka sangat mengapresiasi seni dan budaya Indonesia. Hingga kini ada sekitar 14 ribu murid saya,” ungkap suami Merthi Pudjiono itu.
Pernah ia menggelar pertunjukkan seni yang berhasil memukau dua ribu warga Australia. “Pemainnya ya semua masyarakat Australia. Saya hanya mengarahkan. Bahagia rasanya kesenian Indonesia mendapat apresiasi yang luar biasa di sini.”
Jalan berkesenian Poedijono, beberapa dapat dilihat pada sejumlah foto yang terpajang di dinding rumahnya. Menantu seniman ternama Bali, Wayan Rindi, ini bahkan secara khusus mendapat penghargaan the Medal of the Order of Australia (O.A.M) in the General Division atas perkenan langsung dari Queen Elizabeth II, Ratu Australia. Medali emas diserahkan di Canberra pada November 2003.
“Istri dan anak saya menangis. Mereka terharu, tak menyangka saya bisa seperti itu, padahal semangat dasarnya hanya melakoni saja.”
Ketika ditanya, bagaimana dengan pemerintah Indonesia, apakah ada penghargaan khusus atas dedikasi dan pengabdiannya selama ini, ia terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, lanjut bertutur.
‘Ya, ada, anugerah Satyalancana dari Bapak SBY pada tahun 2007. Setelah Kedutaan Besar Indonesia untuk Australia mendengar saya dianugerahi OAM oleh Ratu Elizabeth II, kemudian beliau mengabari pemerintah Indonesia. Hanya saja saya tidak pernah tahu mendapat penghargaan itu. Justru tahunya dari teman dan berita online, karena sertifikat dan lainnya baru saya terima setahun kemudian.”
Ia menambahkan, dalam pemberitaan di media massa, ditulis Jero Wacik yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menyematkan penghargaan kepada Poedijono. “Lucu sebenarnya. Saya tidak mendapat surat pemberitahuan, juga tidak diundang saat penganugerahan. Bagaimana caranya Pak Jero Wacik menyematkan medali ke saya?”
Poedijono yang kini tinggal hanya bersama istrinya dan sesekali dijenguk anak serta cucu-cucunya menyampaikan, pengakuan atau penghargaan seperti itu bukanlah tujuan utamanya melakoni kesenian. Persahabatan dan kebersamaan, baginya jauh lebih penting, apalagi melihat murid-muridnya berhasil meneruskan jejaknya.
