'The Long Sa'an, The Journey Back', Film Karya Erick Est dan Robi Navicula

Lewat film yang berjudul "The Long Sa'an, The Journey Back", ia mengangkat kisah satu desa di pedalaman Kalimantan, bernama Long Sa'an, yang telah

Penulis: Cisilia Agustina. S | Editor: gunawan
Tribun Bali
Navicula saat membawakan lagu berjudul Rimba dalam pemutaran film perdana The Long Sa an ,The Journey Back yang menceritakan tentang suku Dayak, di Studio Antida jalan Waribang, Denpasar.Jumat (24/4/2015). Ide film ini muncul ketika vokalis Navicula, Gede Robi melihat perubahan pulau Kalimantan. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Jumat (24/4/2015), dalam acara bertajuk Speak Up yang berlangsung di Antida Soundgarden, Erick Est, film director asal Bali, bersama dengan Robi Navicula, merilis film dokumenter terbarunya.

Film berdurasi 25 menit ini mengambil budaya Dayak sebagai latar belakang ceritanya.

Lewat film yang berjudul "The Long Sa'an, The Journey Back", ia mengangkat kisah satu desa di pedalaman Kalimantan, bernama Long Sa'an, yang telah ditinggalkan oleh penduduk pribuminya sejak lebih dari 45 tahun yang lalu.

Kini desa yang terletak di atas gunung dan jauh dari sungai ini sudah tidak lagi berpenghuni.

Sejak tahun 1967, para masyarakat Long Sa'an mulai meninggalkan desanya dan berpindah ke Desa Setulang.

Satu sosok bernama Philius, pria yang lahir di Long Sa'an, yang juga telah meninggalkan desa kelahirannya sejak tahun 1970, menjadi objek Erick dalam filmnya tersebut.

Kehidupan masyarakat desa yang kerap berpindah-pindah memang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.

Hal tersebut yang juga dialami Philius, ayah dari 4 orang anak, yang setelah sekian lama baru menginjakkan lagi kakinya di tanah kelahirannya, Long Sa'an pada tahun 2014 yakni pada proses pembuatan film tersebut.

Lewat perjalanan yang tertuang dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana keadaan hutan-hutan di Kalimantan yang sudah rusak akibat kebakaran yang kerap terjadi di sana.

Yang mana kebakatan tersebut tidak hanya merusak ekosistem, namun juga mengancam kehidupan masyarakat adat dan budaya lokal di sana.

Bersama Gede Robi (Navicula) yang menjadi partnernya dalam pembuatan film tersebut, keduanya ingin menyampaikan bahwa kebudayaan hutan yang masih ada, seperti pada masyarakat Dayak itu seharusnya dilestarikan.

Dan bagaimana melestarikannya adalah dengan menjaga hutan itu sendiri.

"Kebudayaan Dayak terbentuk dari kehidupan di lingkungan tempat mereka tinggal. Untuk melestarikan kebudayaan tersebut, adalah bagaimana upaya kita melestarikan hutan," ujar Robi.

Meurutnya, seharusnya masyarakat adat tersebutlah yg menjaga lingkungannya sendiri, bukan malah pemerintah membiarkan perusahaan-perusahaan penggerus hutan tumbuh di sana, yg justru bisa membahayakan kelangsungan hutan itu sendiri.

Bercermin dari pengalaman perjalanannya ke pedalaman Kalimantan tersebut, ada pesan yang ingin disampaikan Robi kepada masyarakat tempat tinggalnya di Bali.

Sama seperti pelajaran yang ia dapatkan setelah melihat kebudayaan dari suku Dayak di Kalimantan, yakni bagaimana suatu budaya di suatu daerah tidak lepas dari pengaruh alam sekitar, juga menjadi krisis yang dialami oleh Bali sendiri.

"Pariwisata di Bali adalah alam dan budaya. Ya, pertahankan dan setia pada konsep tersebut. Karena itulah justru yang menjadi kartu AS kita," ujar Robi.

Tak ketinggalan, masih dalam rangkaian acara Speak Up, Navicula yang menjadi band pengisi soundtrack film "Long Sa'an, The Journey Back" juga tampil meramaikan acara pada malam tersebut.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved