Ayah Menghamili Anak Kandungnya
Ayah dan Anaknya yang Hamil 3 Bulan Ini Tidak Diikutkan Mepepada
Keduanya sudah cukup menerima karma dan tidak harus dipermalukan dengan diperlihatkan di depan umum.
Penulis: Lugas Wicaksono | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - GPY (40) dan anak kandungnya yang dihamili LY (17), tidak diikutkan dalam upacara Mepepada (pembersihan) yang akan dilaksanakan di Perempatan Agung/Catus Pata Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali, Selasa (22/9/2015).
Keduanya tetap berdiam di rumah ketika upacara itu berlangsung.
(Baca Berita Terkait: Remaja 17 Tahun yang Dihamili Ayah Kandungnya Kembali ke Pelukan Ibu)
Bendesa Adat Sudaji, Jro Nyoman Sunuada, mengatakan tidak dilibatkannya ayah dan anak yang sedang hamil tiga bulan ini untuk melindungi keduanya dari sorotan masyarakat.
Menurutnya, keduanya sudah cukup menerima karma dan tidak harus dipermalukan dengan diperlihatkan di depan umum.
“Mereka tidak kami hadirkan. Jangan lagi kita mempermalukannya, karena mereka sudah cukup kena hukum karma. Biarkan mereka di rumah. Nanti pihak keluarga dan aparat desa yang akan melaksanakan Mepepada,” ujar Sunuada, Sabtu (19/9/2015).
Hal ini berbeda dengan kasus MS (50) yang juga menghamili anaknya KS (18) yang terjadi di Desa Anturan, Kecamatan Buleleng, tahun 2006.
Saat itu, warga Anturan mengadakan Pecaruan Panca Sapta Madurga Dewi dilanjutkan dengan Rsi Gana di Perempatan Agung Desa Anturan dengan menghadirkan MS dan KS.
Alhasil keduanya menjadi perhatian publik.
Sunuada menambahkan, GPY dan LY baru keluar dari rumah ketika Mecaru Balik Sumpah sekaligus melukat di Pantai Sudaji pada Rabu (23/9/2015).
Meski begitu, pihaknya akan tetap melindungi keduanya agar tidak diketahui oleh masyarakat.
“Baru nanti ketika melukat, membersihkan diri di pantai mereka akan keluar rumah. Tapi kami akan tetap melindunginya, nanti kita akan bawa mereka pakai mobil menuju pantai,” ucapnya.
Seusai melaksanakan rangkaian upakara pecaruan, keduanya akan kembali diterima sebagai krama Desa Sudaji.
Sebab keduanya sudah dianggap kembali bersih dan desa tidak lagi kotor.
“Tidak ada yang kami keluarkan dari desa setelah upakara. Kecuali mereka tidak bisa menggelar upakara dan menanggung biayanya, maka terpaksa akan kami keluarkan dari desa, tapi mereka menyanggupinya,” tuturnya.. (*)