Magisnya Pura Penatarana Agung Pucak Gunung Kembar Kenusut, Mohon Keselamatan Anak Kembar
Keinginan Mangku Rupa membangun pelinggih di Pura Penataran dilatarbelakangi petunjuk dari Ida Bhatara Lingsir Pucak Kawan (Lempuyang) agar ada yang
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA – Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar Kenusut, Banjar Jumenang, Desa Bukit, Kecamatan Karangasem, Bali berdiri di antara dua pegunungan.
Ialah Gunung Lempuyang di sebelah utara dan Gunung Seraya di sebelah timur.
Tingginya sekitar 1.400 meter dari permukaan laut.
Pemangku Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar di Kenusut, Jero Mangku Wayan Catra, mengungkapkan, pura ini diyakini pemedek sebagai tempat memohon keselamatan untuk anak kembar, baik buncing maupun sejenis.
Dengan harapan, anak kembar tersebut sehat, berlimpah rezeki, serta tetap harmonis.
“Pemedek yang tangkil ke sini kebanyakan mohon keselamatan untuk anak kembarnya. Sarana yang digunakan untuk nangkil si anak kembar yakni buah–buahan yang medempet (menyatu). Ada juga yang memohon pengelukatan (pesucian) diri lahir dan batin,” terang Mangku Catra.
Mangku Catra menjelaskan, konon pernah ada orang kembar yang tidak harmonis, sakit–sakitan, dan jauh dari rezeki.
Setelah nangkil di Pura Penataran Agung Pucak Kembar, anak kembar tersebut menjadi harmonis, dan tidak sakit – sakitan. Mereka diberi anugrah oleh Ida Bhatara yang berstana di Penataran Agung Pucak Kembar.
“Nama pura ini ada kaitannya dengan manisfestasi energinya. Dalam pura ada Padma Kembar serta Arca Kembar yang sangat sakral. Di sini tempat mohon anugerah untuk anak kembar,” Mangku Catra.
Selain itu, Pura Penataran Agung merupakan pura jalur Sad Kahyangan Luhur Lempuyang.
Dari Pura Penataran menuju Pura Luhur Lempuyang jaraknya sekitar 1 kilometer, dan dapat ditempuh selama 1 jam.
“Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar Kenusut memang tidak begitu dikenal. Pemedek yang akan tangkil ke Pura Luhur Lempuyang kebanyakan lewat Purwayu, Kecamatan Abang. Pemedek yang lewat Penataran Agung Pucak Gunung Kembar hanya beberapa orang,” kata Mangku Catra saat ditemui di rumahnya di Banjar Jumenang.
Ia mengungkapkan Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, dan dibangun oleh I Nengah Mangku Rupa pada Purnama Sasih kedasa.
Tepatnya tahun 1595 atas instruksi Raja Karangasem, Ida Anake Agung.
Keinginan Mangku Rupa membangun pelinggih di Pura Penataran dilatarbelakangi petunjuk dari Ida Bhatara Lingsir Pucak Kawan (Lempuyang) agar ada yang ngayahin.
Mangku Rupa bersedia membangun pelinggih di Pucak Gunung Kembar Kauhan serta Pucak Kanginan setelah anaknya, I Gede Sutiasih, yang sempat sakit akhirnya sembuh.
Karena sanggup mendirikan pelinggih, Bhatara akhirnya mepaica (menganugerahi) tiga bajra sandi.
Pertama, Bajra Agni Ngelayang untuk menurunkan Ida Bhatara saat odalan atau Pujawali.
Lainnya adalah Bajra Lanang dan Bajra Istri yang berfungsi untuk pelukatan dan pengobatan, diberi nama oleh Ida Bhatara Bajra Ardanareswari.
Saat pelinggih pura didirikan, Raja Karangasem ngaturang piodalan.
Ketika itu juga Raja Karangasem mengganti nama Pura Kenusut menjadi Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar Kenusut.
Raja juga memberi laba sebanyak 316 hektare.
Puluhan tahun kemudian turun pretima sebanyak tiga buah dan disambut oleh Mangku Rupa.
Ketiga pretima distanakan di Pura Pesimpanan, dekat rumah Mangku Rupa.
“Pura ini berfungsi memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Ida Sang Hyang Iswara dengan prebhawa Belebhur Giri,” terang Mangku Catra.
Pernah Hidup Terombang-ambing
Jro Mangku Wayan Catra menjadi pemangku Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar Kunusut setelah menjalani hidup yang suram saat masih muda.
Pria kelahiran Jumenang Desa Bukit mengaku tidak menyangka dirinya menjadi pemangku, pengayom/pelayan umat.
Di masa mudanya, kehidupan Mangku Catra terombang-ambing.
Dia sering berpindah – pindah tempat tinggal.
Pernah pula tinggal selama berapa tahun di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Setelah itu pada tahun 90an ia pindah ke Singaraja untuk mencari suasana baru.
Jenuh dengan kehidupan di Singaraja, Mangku Catra sempat ingin transmigrasi ke Sulawesi.
Hanya saja rencananya gagal lantaran saat proses seleksi, ia mendadak sakit.
Saat itu keinginan menjadi pemangku masih belum terbersit di benaknya sebab kehidupannya masih terbilang tidak jelas.
Ia pun tidak tahu ke mana harus melangkah dan pekerjaan seperti apa yang mesti dilakukan.
Karena tidak tahu akan kemana, tahun 1994 Mangku Catra memilih kembali ke tanah kelahirannya di Banjar Jumenang, Desa Bukit, Karangasem.
Selama di rumah, ia bekerja sebagai petani dan pengembala sembari membantu orangtua.
Dua tahun kemudian ia menikah dengan Jro Mangku Istri Sri Winarti.
“Memang orangtua saya seorang pemangku, Jro Mangku Nengah Wita. Saat itu saya belum ada rencana menjadi pemangku. Tahun 1997 mendapat panggilan untuk mengikuti pelatihan ke pemangkuan selama tujuh hari di Denpasar. Seketika itu saya langsung bersedia,” jelasnya.
Karena panggilan inilah kemudian muncul keinginan untuk menjadi pemangku.
Tiga tahun kemudian ia pun diangkat menjadi pemangku.
Sempat pula mengikuti pelatihan kepemangkuan yang diadakan oleh Kementerian Agama RI.
“Dari hidup luntang-lanting, saya bisa menjadi pemangku. Mungkin ini karena sudah panggilan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk mengayomi umat,” katanya.
Pihaknya terus memohon agar terus diberikan kekuatan untuk bisa memberi pelayanan terbaik untuk umat seluruh dunia.
Selain mengayomi dan melayani umat, ia ingin tetap bekerja sebagai petani dan peternak sembari membantu orangtua.
Setiap pagi ia mencari rumput untuk hewan ternak.
Setelah itu ke pura untuk ngayah dan melayani pemedak yang tangkil ke Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar Kunusut. (*)