Kisah Pria Pemeran Liku Gek Rempongs dan Gek Sekar Tono, Berjuang di Balik Stigma Negatif ‘Kemayu’
Pria yang memiliki tiga sudara perempuan itu bisa lulus kuliah di IKIP PGRI Bali pada jurusan Sendratasik karena menjalani kegiatan menjadi liku.
Penulis: I Made Argawa | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Sama dengan Jusna, I Gede Komang Kartonoyasa (26) asal Banjar Buahan Kaja, Desa Buahan, Kecamatan Tabanan, juga mendapatkan penolakan dari keluarganya dalam memerankan liku.

Pria dengan nama beken di atas panggung, Gek Sekar Tono, itu bahkan harus sembunyi-sembunyi agar bisa menari.
“Saya pernah menari dengan Arja Kampus IKIP PGRI Bali, Sekaa Widyaksara ke Jakarta, saya tidak bilang di rumah untuk menari jadi liku, tapi ada kegiatan lain,” ujarnya.
Pria yang kini kuliah S2 di UNHI Denpasar pada jurusan Ilmu Agama dan Kebudayaan itu bahkan harus bersiasat agar keluarga bisa menerimanya menjalankan lakon liku.
Kartono menyebutkan, dirinya harus menyiapkan rokok di sebuah tas untuk diberikan kepada kakaknya ketika pulang ke rumah.
“Setiap habis manggung menjadi liku selalu dikasi rokok, saya pulang dan simpan di tas. Nah, kakak selalu menanyakannya,” ujarnya.
Bungsu dari tiga bersaudara itu setiap hari selalu membeli rokok dan disimpan dalam tas, tas yang disebutnya tas liku.
“Hingga saya tawarkan kepada kakak untuk mengambil rokok dalam tas,” kata Kartono.
Dia menilai, dengan selalu diambilnya rokok dalam tas liku, pihak keluarga perlahan-lahan bisa menerima jalan hidupnya menjadi seorang liku.
“Hingga sekarang saya bersyukur keluarga bisa terima,” jelasnya.
Ia pernah merasa cemas karena menjadi sosok yang kemayu.
Hal itu ditandai kesukaan Kartono saat muda melihat orang merias wajah.
Diceritakan, ketika masih remaja, Kartono selalu semangat bangun pagi untuk melihat tetangga yang memiliki hajatan seperti menikah atau mesangih.
“Saya bisa bangun dini hari pukul 03.00 Wita. Tapi, bibi yang punya salon bilang seorang pragina atau penari harus bisa merias. Saya tekuni keduanya hingga sekarang punya dua salon sendiri dan tetap menari menjadi liku di Arja Widyaksara, kadang job sendiri,” paparnya.
Dari fee menarik sebagai liku ditambah penghasilan dari dua salonnya, Kartono mampu hidup berkecukupan.
Ia pun bersyukur berbagai lika-liku yang dihadapinya untuk menjadi seorang liku juga turut meningkatkan perekonomian keluarganya. (*)