Penari Legong Gadung Melati Seakan Hampir Rebah di Keringnya Musim Kemarau
Tarian Legong Gadung Melati merupakan tarian yang sudah ada pada 1930-an, namun tarian ini menghilang
Penulis: A.A. Gde Putu Wahyura | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tarian klasik Legong Gadung Melati yang hilang sekitar tahun 1930an kembali dikreasikan dengan gamelan dan agem khas Saba.
Tarian yang belum pernah ditarikan ini begitu dinamis ketika ditarikan.
Jika biasanya tarian legong ditarikan dengan badan berdiri dan tatapan mata tajam ke depan, namun dalam pementasan tarian gadung melati ini arahan badan cenderung merebah, ke kanan dan ke kiri seperti orang mau jatuh.
Ini terlihat dari liak-liuk tarian para penari gadung melati ini, dari berdiri mereka perlahan menurunkan badan, bertumpu di tanah dan merebahkan badan ke belakang hingga matanya menatap ke atas langit-langit.
Gerakan merebahkan badan, namun tidak sampai jatuh ke tanah ini dinamakan gerakan nyeleog yang penari gadung melati tarikan saat pementasan.
Gerekan nyeleyog ini seperti air, mengalun dengan pakem yang sudah ditentukan dengan ketukan gamelan dan gerakan kipas yang bergetar dari kedua tangan penari.
Para penari dalam pementasan legong gadung melati ini terlihat sangat menikmati peran mereka, mereka seperti terbawa suasana pohon melati yang lemah dan diibaratkan hampir kering saat musim kemarau.
“Di sini diceritakan saat kemarau bunga yang selalu mekar kemudian menjadi kering dan mau rebah. Nah di sanalah gerakan lenggak lenggok (merebah ke kanan dan ke kiri) yang semakin rendah seperti mau jatuh,” ujar seorang penari legong gadung melati, Putu Fenny Diaristha (21) selepas pementasan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Art Centre, Denpasar dalam PKB ke-XXXIX, Kamis (29/6/2017).
Mahasiswa ISI Denpasar, jurusan tari ini menjelaskan, tarian legong gadung melati ini merupakan tarian yang dikreasikan kembali yang menceritakan bunga melati yang terlilit.
Selain itu legong gadung melati ini merupakan tarian klasik, dengan pakem yang sudah ditentukan dengan kombinasi style Saba.
Tabuhnya pun dahulu menggunakan tabuh lelambatan sekarang digunakan tabuh tari.
“Saya tumben dapat menari klasik Menarikan gadung melati ini berbeda dengan legong pada umumnya. Jadi saya juga mengubah kebiasaan menari saya. Agem-nya (gerakan tangan) di sini berbeda, angsel berbeda harus mengikuti lagu,” ujar anak sulung dari tiga bersaudara ini.
Ketua Sanggar Seni Saba Sari, Puri Taman Saba, Blahbatuh, Gianyar, AA Ngurah Serama Semadi (56) mengatakan, tari legong klasik Saba memiliki ciri khas tertentu.
Ciri khasnya ada agem miring Desa Saba agak ke depan atau dalam bahasanya tanjek ngandang (hentakan kaki kedepan).
Khusus tarian legong gadung melati merupakan tarian yang sudah ada pada 1930-an, namun tarian ini menghilang dan kembali dikreasikan, dianalisis kembali, ditafsirkan kembali melalui bukti-bukti dan cerita yang didengarnya.
Walau ia sendiri sebagai seniman belum pernah melihat, menyaksikan tarian ini sebelumnya, namun ia memang pernah mendengar tarian dari legong tersebut.
“Tuhan menganugerahkan hujan kepada gadung dan melati yang gersang. Bagaimana air sebagai sumber kehidupan kepada mahkluk hidup yang ada,” ujar seniman asal Puri Taman Saba, Blahbatuh, Gianyar ini. (aa gde putu wahyura)