PT Hardys Retailindo Pailit

Prihatin Hardys Alami Pailit, Aprindo Bali Ungkap 3 Poin Penting Permasalahan Pengusaha Ritel

Hardys merupakan salah satu brand ritel terbesar di Bali, yang memiliki ribuan karyawan dan belasan gerai tersebar di seluruh

Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Suasana Supermarket Hardys di Panjer, Denpasar, Minggu (19/11/2017) siang. Di dalam supermarket tampak sepi pembeli dan hanya ada satu kasir. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Provinsi Bali sangat menyayangkan dan turut prihatin terjadinya kepailitan PT Hardys Retailindo, yang kini diakusisi PT Arta Sedana Retailindo.

Bagaimana tidak, Hardys merupakan salah satu brand ritel terbesar di Bali, yang memiliki ribuan karyawan dan belasan gerai tersebar di seluruh pelosok Pulau Bali, bahkan sampai ke Mataram dan Jawa Timur.

Baca: Kerajaan Bisnis Ritel Gede Hardi Pailit, Tak Pernah Menyangka 6 Hal Ini Sebab dan Akibatnya

Baca: Arta Sedana Masih Pakai Nama Hardys

Baca: Pengakuan Gede Hardi Mengundang Simpati, Netizen: Ayo Pak Gede Bangkit Lagi, Orang Bali Harus Sukses

“Kami di Aprindo Bali kaget, saat mendengar berita ihwal pailitnya Hardys yang diputuskan oleh pengadilan niaga,” kata Sekretaris Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Provinsi Bali, I Made Abdi Negara, saat ditemui Tribun Bali di Keramas Aeropark, Gianyar, Minggu (19/11/2017).

Namun demikian, Aprindo Bali meminta para pengusaha ritel di Bali tidak perlu panik atau cemas dengan kasus pailit yang terjadi pada Hardys.

"Jangan panik, tertekan, atau takut saat mengalami hal serupa karena malah bisa semakin terpuruk, orang tertekan dan ketakutan tidak akan mampu berpikir jernih apalagi berpikir strategis,” ujarnya.

Lalu, apa jadi penyebab runtuhnya kerajaan bisnis Hardys yang telah berjaya hampir 20 tahun lebih tersebut?

Abdi melihat tiga poin penting yang jadi permasalahan para pengusaha ritel.

Tiga poin ini bisa berdampak buruk pada perkembangan perusahaan ritel, seperti yang dialami oleh Hardys.  

Pertama adalah pebisnis ritel kerap kurang kreatif dalam memahami perkembangan dinamika pasar.

Padahal secara nasional sudah sering disampaikan bagaimana digitalisasi dan kecerdasan teknologi saat ini menghadapkan market pada banyak pilihan.

Ditambah lagi dengan karakter market millenial yang lebih banyak menghabiskan uang untuk kesenangan (leisure).

Karenanya, peritel harus lebih cerdas, mengelola bisnisnya agar benar-benar memberikan apa yang dicari market.

“Nah bagi yang sukses tentu bisa beradaptasi, tetapi bagi yang tidak mau mengikuti dinamika ini pasti mengalami goncangan-goncangan dalam bisnisnya. Ini juga yang mendorong kami secara pribadi melalui Lembaga Bakti Assistance & Workshop, mengadakan workshop bagi peritel lokal Bali. Kami melakukan proses edukasi, mengajak peritel lokal untuk bisa memahami dan siap atas dinamika perkembangan sekaligus memahami benar bisnis yang dijalani,” kata Abdi.

Poin kedua adalah manajemen tidak dikelola dengan baik.

Kalangan pengusaha peritel sering mengabaikan pengembangan SDM dan implementasi managemen modern disertai adaptasi sistem IT yang konsisten.

"Dengan digitalisasi yang kuat dan arus informasi yang kuat, maka semestinya pengusaha ritel bisa menempatkan diri, dan memahami segala hal. Manajemen harus tahu, dan pengusaha harus tahu tujuan perusahaan dan pengelolaanya pun harus berdasarkan prinsip manajemen ritel modern," ungkapnya.

Yang paling sering menyebabkan permasalahan lalu berdampak sangat besar bagi perusahaan peritel adalah poin ketiga, yaitu kesalahan strategi di dalam menginvestasikan modal usaha yang dimiliki.

Seharusnya pengusaha berpikir, ketika masuk ke bisnis lain membutuhkan waktu untuk beradaptasi menguasai bisnis yang baru tersebut.

Apalagi dengan posisi dan waktu yang tidak tepat, seperti misalkan ekspansi ke sektor properti.

“Nah ketika dia masuk sebagai new comer dengan pemahaman baru, timing tidak tepat, dan dia masuk ketika bisnis properti mengalami penurunan eskalasi bisnis, akibatnya semua akan terseret. Impact-nya adalah modal yang ada dialokasikan ke bisnis lain dan tidak prospektif, terjadi utang atau kewajiban yang digerogoti dari bisnis ritel," terang Abdi. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved