PT Hardys Retailindo Pailit
Usai Pailit, Kini Gede Hardi Dihadapkan pada Piutang Pajak dengan Nilai Fantastis
Setelah kerajaan bisnis ritelnya pailit, Gede Hardiawan kini terganjal piutang pajak dengan angka cukup fantastis
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Aloisius H Manggol
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR– Setelah kerajaan bisnis ritelnya pailit, Gede Hardiawan kini terganjal piutang pajak dengan angka cukup fantastis.
Awal cerita, KPP Madya Denpasar melakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2011, yang dilaksanakan April 2015 dan untuk tahun pajak 2012 dilaksanakan tahun 2016.
Setelah itu, menurut Cuaca, Kuasa Hukum Hardi, didapatkan temuan bahwa Hardys kurang membayar sebesar Rp 22 miliar.
“Dari total temuan tersebut, Hardys telah membayar Rp 7 miliar pada akhir 2015, yang diangsur bertahap,” katanya kepada Tribun Bali, Minggu (3/12/2017).
Untuk tahun pajak 2016 berjalan, kata dia, Hardys sekali tidak mampu bayar pajak.
Sehingga muncul lagi tunggakan pada Mei 2017, dan akhirnya datang surat perintah bukti permulaan (Buper).
“Ini berarti Hardys telah diindikasikan melanggar tindak pidana pajak,” tegasnya.
Buper dimaksud, adalah Buper selama 3 tahun yakni 2014, 2015, dan 2016 dengan pajak dihitung terutang Rp 44 miliar.
Sedangkan, kata dia, kondisi di lapangan pada 2013 memperlihatkan bahwa Hardys sedang mengalami likuditas bagus dan pasti bisa membayar.
“Namun ternyata pemeriksaan baru dilakukan tahun 2015/2016, ketika ekonomi sedang down dan Hardys mengalami masa sulit,” jelasya.
Selanjutnya, sesuai aturan Buper ini maka dikenakan sanksi 150 persen dan memunculkan tagihan pajak Rp 105 miliar.
“Nah lalu muncul surat perintah penyidikan untuk proses penyidikan, dan sesuai Undang-undang sanski yang harus dibayarkan adalah 400 persen dari total pajak terutang,” sebutnya.
Proses ini yang dipertanyakan Cuaca, karena seharusnya Buper ditetapkan dan bisa dikeluarkan jika ada pemeriksaan lapangan tahun pajak yang tertera di Buper.
Menurutnya, pemeriksaan Buper boleh dilakukan setelah adanya pemeriksaan terlebih dahulu.
“Namun prosedur pemeriksaan ini yang terlewati, dan penyidik pajak langsung ke Buper tanpa melewati tahap pemeriksaan. Kalau cara ini dipakai, berarti KPP menghilangkan hak-hak wajib pajak untuk melaporkan sendiri SPTnya. Apalagi ada sanksi 150 persen, dan jika tidak dibayar maka wajib pajak bisa dikenakan lagi sanksi 400 persen apabila kasusnya dinaikkan ke penyidikan pidana pajak,” ujarnya.