PT Hardys Retailindo Pailit

Usai Pailit, Kini Gede Hardi Dihadapkan pada Piutang Pajak dengan Nilai Fantastis

Setelah kerajaan bisnis ritelnya pailit, Gede Hardiawan kini terganjal piutang pajak dengan angka cukup fantastis

Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin
Pendiri Hardys Group, Gede Agus Hardiawan, diberikan semangat oleh sang istri, Ni Ketut Rukmini, saat menceritakan kronologi kepailitan kerajaan bisnisnya di Kantor Grup Hardys Holding, Perum Griya Sanur, Denpasar, Rabu (22/11/2017). 

Setidaknya, kata dia, sebelum Buper dilayangkan, pihak Hardi diberitahu terlebih dahulu ihwal rencana ini, jika tidak ditanggapi baru diperiksa.

“Jadi tampaknya Kanwil Pajak ini mempermainkan ketentuan. Saya sudah koordinasi dengan Kanwil Pajak, dan saya pertanyakan dasar hukum mereka dan langsung ditanyakan ke pimpinan Kanwil DJP Bali, tetapi belum ada jawaban,” katanya.

Apalagi, kata dia, KPP Madya seharusnya tidak boleh menolak SPT yang disampaikan wajib pajak, karena belum dilakukan pemeriksaan.

Ia beranggapan apabila hal ini diteruskan ke penyidikan, maka dianggap KPP Madya dan Kanwil Ditjen Pajak Bali kurang mengerti aturan main tentang pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak.

Sehingga terindikasi tagihan utang pajak tersebut fiktif.

Apalagi, kata dia, KPP Madya telah menerima Rp 7 miliar, dari utang pajak Hardi tahun 2011 dan 2012 sebesar Rp 22 miliar.

“Ternyata utang pajak ini, tidak memiliki nilai tagih alias bodong. Oleh karena itu maka Rp 7 miliar harus kami tarik kembali. Karena Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak memiliki nilai tagih,” tegasnya.

Ia pun menduga banyak SKP yang diterbitkan KPP Madya Denpasar, tidak memiliki nilai tagih dan kemudian WP dikejar untuk bayar.

Seharusnya hal ini tidak perlu dibayar, mengingat Kanwil Pajak salah melaksanakan peraturan.

“Sebab September 2017 kemarin, Hardi telah memasukkan SPT PPN, tetapi ditolak oleh kantor pajak.

Alasannya karena Hardi sedang berstatus dalam pemeriksaan bukti permulaan,” katanya.

Ia pun berharap penyidikan ini dibatalkan, karena tidak sah dan bisa merusak citra Kanwil DJP Bali.

Terkhusus, kini seluruh harta Hardi sedang dalam kuasa kurator setelah dinyatakan pailit, dengan total aset Rp 4,3 triliun dan kepailitannya Rp 2,1 triliun.

Sementara itu, Gede Hardi menyerahkan semuanya ke kuasa hukumnya.

“Sebab saya tidak mengerti hukum pajak, sama seperti kebanyakan pengusaha lainnya di Bali,” katanya.

Sehingga pihaknya mencari orang yang mengerti pajak.

“Pak Cuaca yang mengurus masalah pajak kami, sebab paham Undang-undang pajak dan hak WP sesuai UU,” tegasnya.

Ia pun berharap ada bantuan mediasi dari Kadin atau Hipmi Bali, ke KKP Madya dan Kanwil DJP Bali, mengingat statusnya sedang pailit. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved