Gunung Agung Terkini
Dampak Erupsi Gunung Agung Terhadap Dunia Pariwisata di Bali, Ini yang Sudah Mulai Terasa
Menurut Cok Ace, pemotongan jam kerja masih lebih bijak daripada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Penulis: A.A. Gde Putu Wahyura | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Erupsi Gunung Agung berdampak besar bagi dunia pariwisata di Bali, dan beberapa hotel di sini sudah melakukan pemotongan jam kerja karyawannya untuk efisiensi biaya operasional.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (akrab dipanggil Cok Ace) membenarkan adanya pemotongan jam kerja karyawan di hotel-hotel.
Baca: Erupsi Gunung Agung Ternyata Bisa Mendinginkan Bumi, Ini Penjelasan Ilmuwan Iklim NASA
Baca: BREAKING NEWS Gempa 4,1 SR Guncang Karangasem, Ini Keadaan Gunung Agung Terbaru
Baca: Inikah Berkah Erupsi Gunung Agung? Lahar Hujan Membawa Pasir dan Koral, Sutopo Tulis Begini
Menurut Cok Ace, pemotongan jam kerja masih lebih bijak daripada pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kalau jam kerja tidak dipotong, bisa bangkrut hotel di tengah kondisi sulit akibat dampak erupsi Gunung Agung. Setidaknya sudah ada 20 persen dari sekitar 5.000 hotel di Bali (atau sekitar 1.000 hotel) yang melakukan pemotongan jam kerja karyawan,” kata Cok Ace saat ditemui di kantor PHRI Bali, Denpasar, Selasa (5/12/2017).
Dijelaskan Cok Ace, dengan pemotongan jam kerja itu upah tetap dipenuhi, tapi servis (uang jasa) dikurangi atau bahkan tidak ada.
Pemotongan jam kerja itu bisa berupa hari kerja yang sebelumnya 6 hari dalam seminggu menjadi hanya 3 hari kerja.
“Yang dipangkas jam kerjanya pertama-tama tentu karyawan kontrak. Tenaga yang masih training juga dipangkas,” jelasnya.
Cok Ace menuturkan, ketika Gunung Agung erupsi yang berdampak pada penutupan bandara beberapa hari, sejumlah hotel langsung anjlok tingkat okupansinya.
Okupansi hotel berbintang di Ubud, misalnya, hanya 20 hingga 22 persen karena terkena dampak ikutan erupsi.
Bahkan okupansi homestay di Ubud hanya 5 hingga 8 persen.
Untuk beberapa kawasan lain seperti Kuta dan Nusa Dua, okupansi hotel berbintang tinggal 30 persen dan hotel non-bintang hanya 8 sampai 10 persen.
“Seharusnya awal bulan Desember okupansi mencapai 60 sampai 65 persen. Jadi ini ada penurunan drastis. Kebanyakan yang melakukan pemotongan jam kerja adalah hotel baru yang masih berurusan dengan bank dan baru beroperasi, kita sebut hotel yang masih ada pinjaman,” imbuhnya.
Sedangkan hotel yang sudah beroperasi puluhan tahun dan stabil, kata dia, pada umumnya memiliki cadangan keuangan dalam tiga bulan ke depan untuk menggaji pegawai dalam menghadapi perekonomian yang fluktuaktif.
Cok Ace berharap hotel-hotel baik yang tergabung PHRI atau tidak untuk tidak panik agar tidak memberikan kesan kurang baik bahwa pariwisata Bali terpuruk dan sedang berusaha mempertahankan hidup atau survival.
Cok Ace mengatakan, dalam kondisi seperti ini sebaiknya hotel melakukan renovasi propertinya, yang nanti bisa jadi promosi baru ketika situasi sudah mulai normal kembali.
“Kalau melakukan PHK kok terlalu prematur ya, karena erupsi Gunung Agung juga belum begitu lama,” jelasnya.
Berharap Tidak PHK
Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Pemprov Bali, Ni Luh Made Wiratmi mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) kabupaten/kota, dewan pengupahan dan serikat pekerja mengenai kondisi yang dihadapi hotel saat ini.
Dikatakannya, pemotongan jam kerja ini memang solusi terbaik daripada melakukan PHK.
Pemotongan jam kerja, ucap dia, sudah diputuskan secara bipartit dengan pihak karyawan atau serikat pekerja.
“Sudah ada pertemuan dewan pengupahan di beberapa kabupaten untuk mengantisipasi masalah akibat dampak Gunung Agung. Saya menghimbau pihak pekerja dan manajemen secara arif menyikapi kondisi ini. Kesulitan saat ini bukan kemauan hotel, tetapi karena kondisi alam,” ungkap Wiratmi.
Sebetulnya, lanjut Wiratmi, bisa saja hotel menempuh langkah PHK jika memang kondisi yang dihadapi sudah sangat berat.
Namun, langkah PHK justru bisa makin membebani perusahaan, karena hak pesangon pekerja harus tetap diperhatikan.
“Namun saya mengharapkan tidak ada PHK,” Wiratmi menandaskan.
Sementara itu, Sekretaris Regional Serikat Pekerja Mandiri Bali, Ida I Dewa Rai Budi mengatakan sebenarnya sudah ada Surat Edaran (SE) Menteri Tenaga Kerja (Menaker) No 907/2004 tentang tata cara efisiensi/berhemat dalam produksi biaya.
Pertama-tama, perusahaan mengurangi biaya energi.
Misalnya tidak menggunakan lantai yang tidak ada kamarnya, sehingga hemat listrik dan sebagainya.
Juga bisa mengurangi jumlah orang di level manajer. Terakhir barulah mengurangi pekerja lokal.
“Kalau pekerja seharusnya giliran paling akhir. Sebab, upahnya paling murah, kalau dipotong lagi tak akan berefek besar bagi efisiensi. Akan lebih terasa penghematannya dengan memotong yang sudah bergaji besar. Kebijakan ini pun harus dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dengan pekerja.Kalaupun tidak ada serikat pekerja ya berdasarkan kesepakatan bipartit,” jelasnya.
Rai Budi memandang wajar pemotongan jam kerja demi efisiensi di tengah kondisi sulit saat ini akibat dampak erupsi Gunung Agung.
Namun, ia berharap pemerintah sigap dan datang kepada konsulat negara-negara sahabat agar pemerintah mereka segera mencabut travel advice (peringatan bepergian) ke Bali sebagai bagian dari upaya pemulihan kondisi.
“Jangan pagi-pagi sudah ngomongin PHK dan sejenisnya kalau langkah awal efisiensi yang lain belum dilakukan. Kalaupun jam kerja dikurangi, tetap tidak boleh potong hak atas upah,” kata Rai Budi. (*)