Simpang Ring Banjar
Pesamuhan Puri Satria Kawan Tanpa Ogoh-ogoh, Lakukan Ritual Lukat Gni Sejak Ratusan Tahun Silam
Menjelang matahari terbenam, puluhan krama Pesamuhan Puri Satria Kawan menuju catus pata.
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Pesamuhan Puri Satria Kawan memiliki tradisi unik menjelang Hari Raya Nyepi.
Ketika desa lainnya menggelar pawai ogoh-ogoh, puluhan krama Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, justru menggelar ritual Lukat Gni sebagai wujud pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Ritual ini dilaksanakan bertepatan dengan malam Tilem Sasih Kasanga di area catus pata (perempatan) Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung.
Krama Puri Satria Kawan menyambut tradisi ini dengan riang gembira.
Kelian Pesamuhan Puri Satria Kawan, Anak Agung Gede Agung Rimawan menjelaskan, Lukat Gni atau disebut juga perang api berasal dari dua kata, lukat dan gni.
Lukat/melukat berarti pembersihan dari segala kotoran lahir/batin dan gni berarti api.
Lukat gni dapat diartikan sebagai sebuah tradisi pembersihan atau penyucian Bhuana Alit dan Bhuana Agung dari segala kekotoran atau mala dengan sarana api sehingga terjadi keharmonisan dalam pelaksanaan catur brata penyepian.
Sebelum tradisi tahunan ini dimulai, puluhan krama Pesamuhan Puri Satria Kawan terlebih dahulu melakukan pembersihan diri di sumber mata air yang disucikan dan dilanjutkan dengan persembahyangan bersama di Merajan (Pura) setempat.
Menjelang matahari terbenam, puluhan krama Pesamuhan Puri Satria Kawan menuju catus pata.
Tidak berselang lama, suara baleganjur mulai terdengar, yang manandakan tradisi ini dimulai.
Satu persatu pemuda saling berhadapan dan silih berganti memukul lawannya menggunakan daun kelapa yang dibakar.
Sepanjang ritual diwarnai dengan sorak sorai penonton dan tawa peserta, tidak nampak sedikitpun dendam di antara para peserta.
Tokoh spiritual Puri Satria Kawan, Mangku AA Gde Anom Merta menyatakan tradisi Lukat Gni merupakan tradisi warisan leluhur yang sudah ada di Puri Satria Kawan sejak ratusan tahun silam.
Menurutnya, generasi muda Puri Satria Kawan memiliki kewajiban untuk meneruskan dan melestarikan tradisi tersebut.
"Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sempat vakum selama beberapa tahun, namun tradisi ini kembali dibangkitkan," ujar AA Gede Anom Merta.
Tradisi lukat gni ini menggunakan sarana api dari daun kelapa kering sebanyak 36 lembar yang diikat menjadi satu dan sembilan (9).
Jumlah ini erat kaitannya dengan Dewata Nawa Sanga.
Sementara, penggunaan obor sebanyak 33 buah bermakna memohon kekuatan 33 Dewa.
Angka itu menunjukkan kekuatan dari lima arah, yaitu Timur atau Putih sebanyak 5 buah, Selatan atau Merah 9 buah, Barat atau Kuning 7 buah, Utara atau Hitam 4 buah dan Tengah sejumlah 8.
“Semua ini bermakna kami mohon perlindungan atau keselamatan selama prosesi ritual berlangsung,” kata AA Anom Merta.
Tidak Terasa Panas
Tradisi ini pun menyimpan kesan tersendiri bagi pesertanya.
Seperti yang diungkapkan AA Gde Baskara Diningrat.
Ia memberanikan diri ikut tradisi Lukat Gni untuk melestarikan warisan leluhur.
Menurutnya dengan berbekal keyakinan dalam diri, semua api yang mengenai tubuh tidak akan terasa panas.
Setiap api tersebut dipercaya mampu menghilangkan segala kekotoran dalam diri.
"Semakin banyak terkena api akan semakin banyak kotoran yang hilang dalam diri kita," ujar Baskara yang rutin mengikuti tradisi ini setiap tahun. (*)