Simpang Ring Banjar
Bentuk Syukur Tradisi Mejurag Ajengan Kalesan di Desa Adat Ababi
Mejurag (berebut) Ajengan Kalesan atau Ajengan Takepan menjadi rangkaian acara ngejaga. Tradisi ini merupakan acara puncak
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA - Mejurag (berebut) Ajengan Kalesan atau Ajengan Takepan menjadi rangkaian acara ngejaga.
Tradisi ini merupakan acara puncak yang digelar krama Adat Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem setiap sasih kaulu di Pura Dalem Ababi.
Kelian Desa Adat Ababi I Gede Pasek Ariana menjelaskan, mejurag ajengan takepan adalah prosesi berebut kalesan yang dibungkus dengan daun jaka.
Jumlah nasi kalesan sekitar 45 kalesan yang sudah dihaturkan dan didoakan di sekitar Pura Dalem.
“Nasi kalesan ini terdiri dari beberapa caru. Ada caru banteng pagarwesi, bawi butuan, dan ayam kumulanjar. Prosesi berebut nasi kalesan ini dilaksanakan setelah persembahyangan di Pura Dalem,” jelas Pasek Ariana ditemui sekitar Pura Puseh, Rabu (11/4/2018).
Setelah sembahyang di Pura Dalem selesai, krama lanang bersiap-siap berebut nasi takepan.

Nasi yang diperoleh akan dimakan serta ditaburkan di pekarangannya.
Menurut keyakinan warga, nasi kalesan ini bisa didatangkan kemakmuran warga.
Ariana menambahkan, makna dari berebut nasi kalesan yaitu bentuk syukur masyarakat Ababi ke Ida Shang Hyang Widi yang telah memberikan hasil tanaman melimpah.
Kalesan ini dianggap memberikan kesuburan untuk warga di Ababi.
Makanya, kata Ariana, warga yang mendapatkan nasi kalesan biasanya ditaburkan di halamannya.
Secara niskala, itu diyakini warga sebagai sarana memperlancar rezeki, terutama menyuburkan lahan pertanian, dan tegalan dengan hasil lebih banyak.
Sedangkan makna dari upacara atau aci ngejaga yaitu sebagai penetralisir kekuatan jahat yang disimbolkan dengan buta kala.
Makanya, sebelum berebut nasi kalesan warga memberikan sesaji.
Tujuannya agar buta kala tidak mengganggu.
“Upacara ini merupakan warisan nenek moyang sebelumnya. Dan wajib hukumnya dilaksanakan. Upacara ini merupakan ritual mohon ketentraman, kesuburan, kesejahteraan ke Ida Shang Hyang Widi,” akui Ariana.
Ritual Nyepi Lanang dan Istri
Sehari setelah prosesi mejurag takepan, krama lanang (laki-laki) melaksanakan Nyepi Adat. Di mana, krama lanang di Desa Ababi dilarang melakukan aktivitas yang berorientasi bisnis.
Misalnya berdagang, bertani, menggembala ternak, dan bertransaksi barang dagangan.
“Kalau untuk sembahyang ke pura, silaturahmi ke rumah keluarga dan kerabat diperbolehkan, asal tak berbisnis dan transaksi barang dagangan,” ungkap Pangliman Desa Adat Ababi, I Nyoman Sudiarsana, kemarin.
Ditambahkan, peran laki-laki saat Nyepi Lanang diambil alih sang istri.
Misalnya, ke sawah, memberikan makan ternak dikerjakan istrinya.
Ini berlaku untuk satu hari, saat hari H.
Setelah prosesi Nyepi Lanang selesai, aktivitas normal seperti biasanya.
Begitu juga dengan Nyepi Istri.
Seluruh aktivitas istri yang berbau bisnis seperti masak, cuci, dan lainnya tidak boleh dilaksanakan.
Perannya untuk sementara diambil alih suaminya.
“Untuk Nyepi Istri dilaksanakan saat sasih kepitu,” kata Kelian Desa Adat Ababi, I Gede Pasek Ariana.
Disebutkan, prosesi ini sampai sekarang dijalani.
Antara lanang dan istri tetap saling menghargai.
Nyepi ini digelar untuk ngiringan Ida Bhatara Mesesanjan, dimulai pukul 07.00-16.00 Wita, setelah Ida Bhatara mesineb. Brata penyepian ditandai suara kulkul.
Bagi warga yang melanggar brata penyepian desa adat tidak diberikan sanksi.
Mereka hanya ditegur dan diminta untuk menghormati ritual warisan nenek moyang.
Bagi desa tetangga juga diminta menghormati prosesi penyepian yang digelar di Ababi.
"Untuk petani luar Desa Ababi yang mengarap sawah di Desa Ababi diminta tidak beraktivitas. Begitu juga dengan pelayanan hotel. Kalau sudah Nyepi Lanang dan Istri, kita pasang sawen (penanda) di perbatasan desa,” kata Sudiarsana.
Kembangkan Sektor Pertanian
Desa Adat Ababi merupakan desa tua di Kabupaten Karangasem.
Jumlah penduduk sekitar 6.000 jiwa lebih.
Mata pencaharian warganya hampir 80 persen bekerja sebagai petani padi, bunga gumitir, cabai, dan petani tegalan.
Satu orang mampu menggarap puluhan are.
Menurut Kelian Desa Adat Ababi, Gede Pasek Ariana, bertani merupakan warisan nenek moyang.
Hal ini lantaran sumber mata air di Ababi melimpah.
Petani di Desa Adat Ababi tak pernah mengeluhkan masalah air, apalagi kekurangan.
Dikatakan, perairan semuanya lancar.
“Di sini banyak sumber mata air. Sumber yang besar yaitu sumber mata air Ha, sumber Tirtagangga, sumber Embukan, sumbar Pangi, dan sumber ketipat. Itu sumber air yang besar, belum yang kecil,” tambah Pangliman Desa Adat Ababi, Nyoman Sudiarsana kepada Tribun Bali, kemarin.
Rencananya, kata Pasek Ariana, desa adat akan mengembangkan sektor pertanian terutama di Jalan Tirtagangga.
Beberapa kelompok petani di Ababi akan kerjasama dengan Bank Indonesia (BI).
Seperti kelompok petani cabai, serta bunga gumitir.
Menurut krama, petani Desa Adat Ababi bersepakat menjaga keindahan sawah.
Makanya, tambah Ariana, hamparan sawah menjadi view menarik bagi wisatawan yang berkunjung.
Banyak pengunjung mendokumenkan sawah di Ababi.
Ditambahkan, sawah yang ada di Desa Adat Ababi merupakn warisan nenek moyang.
Petani harus bisa menjaga dan melestarikan keindahannya sesuai yang tersirat dalam Trihita Karana.
Begitu juga dengan sumber air harus dikelola dijaga dengan baik. (*)