Simpang Ring Banjar
Lestarikan Kesenian Arja, Sanggar Sibuh Emas Banjar Kelusu Aktif Lagi
Aktivitas kesenian Banjar Kelusu, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar kembali menggeliat
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Aktivitas kesenian Banjar Kelusu, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar kembali menggeliat.
Sebelum Sanggar Sibuh Emas terbentuk pada Februari 2018, aktivitas kesenian di banjar yang dihuni 136 kepala keluarga (KK) ini vakum.
Sebab tidak ada wadah generasi muda untuk berlatih kesenian.
Karena itulah, Ni Kadek Mistyawati (33) alias Jero Soka dibantu teman-temannya, mendirikan Sanggar Sibuh Emas.
Jero Soka menceritakan, nama Sanggar Sibuh Emas sejatinya nama sanggar milik temannya, Gusti Aji Sudana, yang merupakan seniman topeng asal Desa Pejeng Kangin.
Di tempat Aji Sudana, sanggar tersebut tidak jalan.
Karena itu, saat dirinya ingin mendirikan sanggar, Aji Sudana disuruh untuk menggunakan nama sanggar tersebut.
“Sebenarnya tidak ada hal yang spesial, hanya saja saya cocok dengan nama tersebut. Terlebih lagi arti dari Sibuh Emas kan bagus, tempat berkilau. Ada harapan, agar anak-anak yang belajar seni di sini, dapat mengharumkan nama banjar, desa, dan Bali,” ucapnya.
Saat ini sebanyak 70 orang generasi muda belajar seni di sanggar tersebut setiap hari Senin, Kamis, dan Minggu.
Mereka berasal dari sejumlah banjar di Pejeng mulai anak umur 4 tahun hingga warga berusia 24 tahun.
Terkait kesenian yang diajarkan, kata dia, saat ini baru sebatas seni tari.
Seperti, seni tari lepas untuk anak-anak yang belajar dari nol.
Sementara anggota yang sudah memiliki basic tari, diajarkan tari Arja.
Sebab saat ini, kesenian Arja hampir sulit ditemukan.
Sebab tidak banyak sanggar yang mengajarkan tarian tersebut karena membutuhkan banyak skill, seperti menari, metembang, dan berdialog.
“Yang mengajar tidak saya sendiri, karena saya masih harus banyak belajar. Dalam mengajar, saya dibantu Ajik Sudana, dan murid SMKI,” ujarnya sembari mengatakan sekali latihan hanya bayar Rp 3.000 per orang.
Selain mengajarkan seni tari, beberapa hari ke depan, pihaknya akan mengajarkan anak-anak didiknya tentang tata rias.
Sebab aktivitas adat di Banjar Kelusu relatif banyak.
Selama ini, ibu-ibu PKK cenderung melakukan tata rias di salon.
Dia berharap, nantinya hal tersebut dapat ditularkan kepada anak-anak mereka sendiri.
“Jadi kan, kalau anak-anak bisa tata rias, ibu-ibunya tidak perlu ke salon lagi, ini juga bisa menjadi penghasilan anak-anak,” harapnya.
Kisah Kelam Liku Kondang Jero Soka, Sempat Frustasi saat Jadi Pemangku
Ni Kadek Mistyawati (33) alias Jero Soka merupakan penari liku bon-bonan asal Banjar Kelusu, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Jero Soka baru menekuni tari yang tergolong kesenian lawak Bali itu baru dua tahun.
Namun perempuan bertubuh gendut ini, sudah mengocok perut ribuan penonton.
Bahkan ada ujaran di kalangan seniman Bali, “Pementasan bondres tidak akan lengkap tanpa Jero Soka”.
Namun tidak banyak orang tahu, di balik kesuksesannya menghibur penonton, ada kisah kelam yang membuatnya terjun ke dunia kesenian lawak Bali.
Ditemui Tribun Bali di rumahnya, Kamis (19/4/2018) pagi, Jero Soka menceritakan, menjadi penari liku merupakan jalan hidupnya agar bisa tetap ‘ngayah’, setelah memilih berhenti menjadi Jro Mangku.
Sebelum menikah ke Banjar Kelusu, tepatnya saat masih berumur 20 tahun, Jero Soka ditunjuk menjadi Jro Mangku menggantikan mendiang ayahnya, oleh pengempon Pura Ratu Made Agung, di kampung kelahirannya, Banjar Tembau Kaja, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur.
Karena masih ingin menikmati masa mudanya, Jero Soka pun menolak keras.
Namun apa daya, kehendak krama tidak bisa diubah.
Saat itu, kata dia, hidupnya suram.
Sulitan mencari pekerjaan dan kesulitan keuangan.
Dan, rencana pernikahannya pun gagal.
“Mungkin karena saya tidak menjalankan swadharma kepemangkuan, kehidupan saya jadi suram, sering kena musibah,” ujarnya.
Dalam frustasinya, Jero Soka memberanikan diri mepamit ke hadapan Bhatara Sesuhunan Pura Ratu Made Agung.
Dalam keheninangan, Jero Soka seperti mendengar pawisik,
“Jika tidak mau menjadi pemangku, harus menjadi pragina (penari). Tanpa mengiyakan atau menolak, dalam beberapa hari setelahnya, dirinya seperti dituntun oleh sesuhunan menjadi seorang pragina,” kata dia.
Tanpa sengaja bertemu Dalang Joblar, I Ketut Nuada asal Banjar Tumbak Bayuh, Canggu, Badung.
Oleh Nuada, dirinya dipertemukan dengan penari liku, Desak Rai Pengot asal Desa Mas, Ubud.
Di sini, Jero Soka diajar cara menguasai panggung.
Sementara terkait metembang dan menari, itu dilakukan secara otodidak.
“Tidak diajarkan menari, hanya dikasi tahu cara menguasai diri di panggung, itu sangat berarti sekali bagi saya. Kalau menari, saya belajar otodidak, kebetuan saya sudah punya besik menari. Sejak umur 4 tahun saya sudah belajar menari,” ujar lulusan Sarjana Ekonomi, Universitas Warmadewa tersebut.
Guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMP Widya Sakti Denpasar ini mengaku bersyukur, sejak ngayah melalui jalur pragina, kehidupannya relatif membaik.
“Astungkara, mungkin karena sudah titah Ida Bhatara Sesuhunan, meskipun saya berhenti ngayah sebagai pemangku, dan berubah menjadi pragina, kehidupan saya mulai membaik,” syukurnya. (weg)
Banyak Krama Kesurupan
Sejumlah perempuan sibuk membuat jajanan upakara di jaba tengah Pemerajan Agung Dalem Tenggaling lan Pura Agung, Banjar Kelusu Kamis (19/4/2018) siang.
Hal itu dilakukan serangkaian persiapan karya Malik Sumpah, Rsi Gana, Mupuk Pedagingan, Ngenteg Linggih, dan Gingkup, pada 16 Mei 2018.
Panitia Karya, Anak Agung Gede Geriya mengatakan, tempat suci tersebut merupakan Pura Dadya.
Di Banjar Kelusu sendiri, jumlah pengamongnya sebanyak 38 Kepala Keluarga (KK).
Seingat dia, ritual agung ini, belum pernah digelar pendahulu sebelumnya.
Sebab biaya yang dibutuhkan relatif besar.
Namun terkait anggaran, pihaknya tidak bisa menyebutkan, lantaran bersifat spontan.
“Astungkara, untuk biayanya ditanggung keluarga Puri Agung Kelusu. Krama hanya diminta bantuan tenaga,” ujarnya.
Menurut mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Gianyar ini, ritual agung ini digelar untuk menuntaskan Tri Rna atau tiga utang manusia dalam kehidupan.
Pitra Rna (utang pada leluhur), yang sudah dibayar melaui pelebon dan ngasti.
Rsi Rna (utang kepada pendeta), dan Dewa Rna (utang kepada Tuhan).
Terkait ritual agung ini, kata dia, dilukan untuk Dewa Rna.
Ritual tersebut akan berlangsung selama 14 hari penuh.
Dalam ritual ini, krama akan nedunin Ida Bhatara Sehunan, Ratu Sakti (Rangda) dan Ratu Alit (Hanoman).
Biasanya setiap Ida Bhatara tedun, sebagian besar krama kesurupan.
“Karena itulah, selama ini Ida Bhatara jarang tedun,” ujarnya.
Terkait adanya sesuhunan Hanonam, Gung Geriya menceritakan, puluhan tahun lalu, Puri Agung Kelusu memiliki Sekaa Drama Gong dengan judul Ramayana.
Setelah Drama Gong vakum karena kehilangan generasi, sehingga topeng Hanoman yang saat itu dipakai pentas distanakan di Pemerajan Agung Dalem Tenggaling lan Pura Agung.
“Dulu Ratu Alit sering pentas, tapi sejak melinggih tidak pernah pentas lagi. Jangankan pentas, nedunin pun kami harus ekstra hati-hati. Setiap tedun, banyak yang kesurupan,” ujarnya.
Gung Geriya mengatakan, Pura Dadya biasanya kesulitan menggelar ritual agung karena terbentur biaya.
Sebab bantuan pemerintah hanya diberikan pada Desa Pakraman.
Padahal, kata mantan Staf Ahli Bupati Gianyar ini, Dadya juga berperan dalam bidang kebudayaan, yang menjadi roh perekonomian Bali.
“Pura Dadya juga harus diperhatikan pemerintah, jangan hanya diberikan ke Desa Pakraman saja. Sebab Dadya juga berperan dalam ajeg Bali,” ujarnya. (*)