PLTU Celukan Bawang Tahap II Disebut akan Berdampak pada Peningkatan Angka Kematian Dini

Greenpeace Indonesia menilai, PLTU Celukan Bawang II di Bali utara yang saat ini sedang diusul dinilai akan menyebabkan kontaminasi merkuri

Penulis: Hisyam Mudin | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Hisyam Mudin
Suasana diskusi publik yang digelar di Warung Mina, Denpasar, Jumat (13/7/2018). 

 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Greenpeace Indonesia menilai, PLTU Celukan Bawang II di Bali utara yang saat ini sedang diusul dinilai akan menyebabkan kontaminasi merkuri jika diizinkan untuk membangun.

Tidak hanya membahayakan industri pariwisata, angka kematian dini pun akan mengalami peningkatan.

Usulan ekspansi PLTU Celukan Bawang II ini memiliki kapasitas 2x330 Megawatt (MW) atau sekitar dua kali lipat dari PLTU Celukan Bawang I yakni 3x142 MW.

Lauri Myllivirta, seorang ahli polusi udara Greenpeace, mengatakan, ekspansi PLTU Celukan Bawang di Bali utara dapat membahayakan 200.000 jiwa dari paparan polusi udara yang diatas ambang batas aman.

Selain itu, 30.000 jiwa berpotensi terkena paparan akumulasi merkuri pada level yang tidak aman.

"Emisi berbahaya ini juga dapat menjadi ancaman bagi populasi lumba-lumba dan ekosistem sekitar PLTU Celukan Bawang lainnya," katanya dalam diskusi publik yang digelar di Warung Mina, Denpasar, Jumat (13/7) kemarin.

Ekspansi PLTU Celukan Bawang II kata dia akan menghasilkan polusi udara lebih banyak lagi dan merugikan masyarakat serta ekosistem di sekitar secara signifikan.

Berdasarkan data pemodelan dari Universitas Harvard, menurut dia untuk PLTU Celukan Bawang Tahap I saja, diperkirakan menyebabkan 190 kematian dini dan 70 kelahiran dengan berat badan rendah setiap tahun.

Angka kematian dini yang disebabkan PLTU Celukan Bawang I ini diperkirakan mengalami peningkatan hingga 300 jiwa pada tahun 2030 mendatang.

Jika beroperasi selama 30 tahun, maka jumlah total kematian dini selama masa operasi PLTU tersebut adalah 7.000 jiwa.

Sementara itu, jika usulan perluasan diizinkan, ekspansi PLTU Celukan Bawang tahap II akan menyebabkan angka kematian dini secara akumulatif meningkat hingga mencapai 19.000 jiwa, jika PLTU beroperasi selama 30 tahun.

Saat ini, kata dia PLTU Celukan Bawang telah menghasilkan emisi NO2 (nitrogen dioksida) dan berbagai partikel beracun lainnya dengan jumlah yang tinggi.

Polutan ini juga meningkatkan resiko penyakit pernapasan dan jantung pada orang dewasa serta infeksi pernapasan pada anak-anak.

Bahaya bagi kesehatan masyarakat berasal dari emisi PM2.5 dan NO2.

Di Indonesia resiko terkena dampak kata dia sangat tinggi karena kontrol polusi terlemah di Asia Timur.

"Jauh lebih lemah daripada di Cina atau Jepang," katanya.

Dijelaskan, PM2.5 ini merupakan partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk pembangkit listrik. Partikel ini akan tetap bertahan di udara dalam jangka waktu lama dan tertiup angin hingga ratusan mil.

Partikel halus ini kata dia merupakan polutan yang sangat berbahaya karena mengandung senyawa beracun lainnya yang dapat tertiup dan langsung masuk hingga ke aliran darah manusia.

"Paparan jangka panjang dari PM2.5 dapat menyebabkan asma, infeksi saluran pernafasan akut, terutama pada anak-anak. Kanker paru-paru dan juga memperpendek usia," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, emisi NOx, SO2 (sulfur dioksida) dan debu dari PLTU Celukan Bawang secara bersamaan dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri.

PLTU Celukan Bawang, kata dia, pertahun diproyeksikan akan mendistribusikan sekitar 15 kilogram merkuri dan mengendap di daratan sekitar lokasi proyek.

Sementara sekitar 40 persen merkuri akan terdistribusi ke lahan hutan dan 49 persen ke lahan pertanian.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan ekspansi perluasan PLTU Celukan Bawang yang diusulkan ini sangat tidak wajar, terutama karena didorong oleh keputusan Gubernur Bali tanpa penilaian yang memadai dari dampak merkuri yang dihasilkan dan polutan berbahaya lainnya.

"Bahkan tidak ada perhitungan jumlah emisi merkuri yang tertera dalam AMDAL proyek ekspansi tersebut. Seharusnya dengan AMDAL ini kan acuannya lebih failed. Perluasan ini akan berdampak secara akumulasi, dampaknya lebih besar," ujarnya kemarin.

PLTU Celukan Bawang ini kata dia akan merusakan pariwisata Bali, terlebih lagi secara khusus pariwisata Buleleng.

Ekosistem Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dan kondisi koral serta kehidupan lumba-lumba di pantai Lovina sangat terancam terkena dampak dari PLTU Celukan Bawang.

Hal ini kata dia lokasi TNBB terletak hanya 40-50 km, sementara pantai Lovina terletak hanya 20-30 km dari PLTU Celukan Bawang.

Dengan demikian, ia mengatakan, emisi dari pembangkit batu bara akan membahayakan lingkungan Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi termasuk macan tutul Jawa, trenggiling dan jalak Bali.

Begitu juga pariwisata di pantai Lovina, kawasan wisata populer yang terkenal dengan pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba.

Menurutnya, Bali adalah tujuan wisata paling populer di Indonesia, jutaan pengunjung per tahun, sebagian besar dari negara-negara seperti Cina, Singapura, Malaysia dan Australia.

Dengan demikian, pariwisata kata dia sangat penting bagi ekonomi lokal, mendukung sekitar satu dari setiap tiga pekerjaan di Bali.

Namun dengan adanya PLTU Celukan Bawang ini, udara yang tercemar dari pembangkit batu bara dinilai akan mengusir para wisatawan.

Tentunya juga membuat ribuan pekerjaan berisiko dan terancam karena rencana pemerintah untuk memperluas pariwisata di Indonesia.

"Pemerintah ingin menarik lebih banyak wisatawan asing ke Bali, tetapi siapa yang akan ingin mengunjungi sebuah pulau yang udaranya tercemar oleh emisi dari batu bara," imbuhnya.

Sementara itu, I Wayan Gendo Suardana, perwakilan tim kuasa hukum warga penggugat dan Greenpeace Indonesia, menegaskan, perluasan PLTU Celukan Bawang akan memperburuk kualitas lingkungan yang sudah tercemar oleh PLTU yang saat ini sudah ada.

"Jadi dampaknya harus dihitung secara akumulatif," kata Gendo.

Ia menjelaskan, saksi ahli penggugat, Profesor Ery M Egantara, seorang pakar Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga mengatakan, perhitungan dampak juga perlu dilakukan dalam prakiraan waktu jangka panjang.

Akumulasi polutan berbahaya tidak akan langsung terasa pada tahun- tahun pertama beroperasinya PLTU tersebut, tetapi kalau dihitung sampai 5-10 tahun ke depan, ancamannya bisa sangat nyata.

Gendo pun mengatakan, persidangan yang menghadirkan saksi ahli dari pihak penggugat pada Kamis (12/7) lalu juga telah menekankan pentingnya pemodelan emisi dengan metodologi yang tepat.

Sayangnya, kata dia hal ini tidak terlihat dalam AMDAL ekspansi PLTU Celukan Bawang.

“Kualitas AMDAL yang buruk akan mempersulit prakiraan dampak. Padahal, AMDAL menjadi acuan utama dalam pengambilan keputusan proyek tersebut layak dilanjutkan atau tidak," ujar Gendo.

Sementara, Direktur LBH Bali, Dewa Adnyana, menilai dengan tidak terteranya proyek ekspansi PLTU Celukan Bawang 2x330 MW dalam RUPTL 2017 dan 2018, sudah menandakan bahwa proyek ini tidak dibutuhkan lagi.

"Kami menyerukan kepada gubernur untuk melindungi Surga Bali, dan tidak membawanya ke masa depan yang kotor dan tercemar," tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved