serba serbi

Memaknai Gempa Bumi Berdasar Lontar Palelindon, Mulai dari Kepemimpinan Hingga Introspeksi Diri

Ida Pedanda Putra Tembau mengharapakan masyarakat malihat peritiwa gempa bumi tidak hanya sebagai musibah belaka.

Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Rizki Laelani
TRIBU BALI/EKA MITA SUPUTRA
Ida Pedanda Putra Tembau di kediamannya Geria Gede Desa Aan, Banjarangkan, Klungkung, Senin (6/8/2018). 

TRIBUN-BALI, KLUNGKUNG - Rentetan gempa bumi di Pulau Lombok dalam rentang beberapa hari terkahir, yang puncaknya berkekuatan 7 SR, Minggu malam (5/8/2018) sangat terasa dan berdampak di Bali.

Masyarakat Bali bahkan percaya, gempa beruntun yang terjadi pada Sasih Karo (bulan kedua menurut kalender Bali) ini adalah pertanda alam dan memiki makna secara niskala (keyakinan kearifan lokal), seperti apa?

Susana sejuk langsung terasa ketika memasuki kediaman Ida Pedanda Putra Tembau di Geria Gede Desa Aan, Banjarangkan, Klungkung, Senin (6/8/2018).

Gapura berukiran khas Bali yang cukup megah, menjadi pertanda kediaman salah satu tokoh spiritual ternama di Klungkung ini

Saat memasuki ke halaman rumahnya, lantunan mantra diikuti surag genta (suara dari lonceng) sangat terdengar merdu.

Ketika itu, Ida Pedanda Putra Tembau sedang melakukan ritual Surya Sewana di merajan (tempat ibadah masing-masing keluarga).

Ritual tersebut biasanya dilakukan oleh sulinggih (rohaniawan Hindu) setiap harinya, untuk mendoakan keseimbagan alam semesta.

"Silakan ditunggu dulu sebentar. Beliau sedang Nyurya Sewana (ritual)," ujar seorang pengayah di Gria Gede Desa Aan.

Tidak lama berselang, Ida Pedanda Putra Tembau menutup ritualnya.

Baca: Berkebutuhan Khusus Jadi Motivasi, Ayu Intan Melisa Optimistis Mendulang Emas di Cabor Renang

Baca: Di Tahun Keduanya, Akademi Komunitas Mapindo Wisuda 136 Mahasiswa

Baca: WCP Siapkan Hukuman untuk Pemain Bali United Bila Saat Libur Panjang Terjadi Hal ini

Pria renta tersebut berjalan berlahan keluar dari merajan miliknya.

Ia tampak sangat bersahaja, dengan pakaian putih dan kamben batik berwarna hijau.

Sang sulinggih pun turut berpendapat terkait gempa beruntun yang terjadi di lombok, hingga berdampak di Bali.

Menurutnya, gempa yang terjadi saat redite (minggu), sasih karo itu tidak hanya sebagai bencana alam.

Namun, juga memiliki arti atau tanda niskala, dan menjadi peringatan masyarakat untuk bertindak.

Ida Pedanda lalu mengambil naskah Lontar Palelindon miliknya. Ia dengan teliti membaca dan meresapi isi setiap naskah Sastra Bali kuno tersebut

"Jadi tanda alam dari gempa itu tertuang dalam naskah Lontar Palelindon (susastra lokal). Jadi terjadinya gempa berdasarkan hari, dan sasih itu ada artinya. Menjadi peringatan bagi manusia untuk bersikap dan bertindak," ungkap Ida Pedanda Putra Tembau.

Berdasarkan Lontar Palelindon tersebut, gempa beruntun yang terjadi pada sasih karo diawali dari pertanda alam seperti hujan lebat, serta cuaca ekstrim gelombang tinggi di laut.

Hal ini sangat sesuai dengan kondisi alam beberapa hari belakangan di Bali maupun Lombok

"Berdasarkan Lontar Palelindon ini, gempa yang terjadi saat redite (minggu), bertanda warga sangat mudah tersulut emosinya. Selain itu, hama juga banyak menyerang pertanian," ungkapnya

Namun, ada hal yang menjadi perhatian sang sulinggih saat itu. Lontar Palelindon juga menyebut, gempa yang terjadi saat sasih karo memiliki makna yang lebih luas.

Mulai dari pemimpin yang saat ini tengah bimbang, sampai masyarakat yang tidak lagi percaya dengan pemerintahnya.

"Sementara gempa pada sasih karo, berdasarkan Lontar Palelindon ini memberikan tanda bahwa masyarakat mulai tidak percaya dengan pemerintah. Pemerintah juga mulai bimbang. Jika ini terus berlanjut, tentu suasana kehidupan bermasyarakat juga tidak kondusif dan rentan menjadi konflik. Pertanda ini sangat riskan, terlebih menjelang tahun pemilu seperti saat ini," jelas Ida Pedanda Putra Tembau.

Namun demikian, Ida Pedanda Putra Tembau meminta masyarakat untuk memaknai gempa bumi tersebut sebagai sebuah peringatan alam.

Dengan kejadian ini, masyarakat diminta untuk kembali ke jati dirinya sebagai manusia yang mulia.

"Lontar Palelindon ini juga menjelaskan, bencana gempa bumi saat sasih karo ini diharapkan menjadi peringatan bagi manusia agar intropeksi diri. Masyaraat agat tidak mudah tersulut emosinya, berpikiran jernih dan kembali ke jati diri manusia sehingga alam ini menjadi ajeg (tegak) dan penuh kedamaian," terangnya.

Dalam lontar itu juga tertuang, perlu dilakukanya pecaruan sesuai dengan kemampuan, agar bhuana agung (alam semesta) kembali tentram dan seimbang.

Hal senada diungkapkan sulinggih Ida Pedanda Gede Made Tembau, dari Gria Kulon, Desa Aan, Banajrangkan.

Ia mengharapakan masyarakat malihat peritiwa gempa bumi tidak hanya sebagai musibah belaka.

Namun, melihat gempa bumi sebagai pertanda alam, yang mengingatkan manusia adanya pergeseran nilai di masyarakat.

Mulai dari ekploitasi alam yang semakin marak, hingga sikap manusia yang semakin kurang bersahabat dengan alam

"Kejadian ini mengingatkan kita untuk mulai bersikap bijaksana terhadap alam. Harus intropeksi diri dengan apa yang kita lakukan terhadap alam, sehingga alam terjaga keajegannya," (eka mita suputra)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved