Simpang Ring Banjar
Warga Kerap Melukat di Pura Tirta Sudhamala, Konon Tukad Jadi Tempat Pembuangan Mayat Saat Perang
Pura yang terletak di Desa Pakraman Banyuasri ini sering didatangi oleh masyarakat untuk melakukan ritual pelukatan
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Irma Budiarti
Sebab, setra (kuburan) dulu hanya ada di wilayah timur yang kini disebut dengan Setra Buleleng.
Nah saat hendak melakukan pemakaman itu, air di Tukad Banyumala tiba-tiba naik.
Sehingga masyarakat kesulitan untuk menyeberangi sungai tersebut.
Hal hasil mayat dibiarkan hingga mengeluarkan aroma yang tidak sedap.
Akhirnya Dewa Bagus Manik memohon kepada Raja Buleleng agar masyarakat dapat tinggal di wilayah timur dari bantaran sungai tersebut.
"Akhirnya raja mengizinkan masyarakat Desa Banyumala untuk tinggal di sebelah timur sungai. Mereka tidak perlu lagi repot-repot menyeberangi sungai jika ada upacara pemakaman," ungkap Nyoman Westha.
Berjalannya waktu atau lebih tepatnya pada tahun 1970, nama Desa Banyumala akhirnya diubah.
Masyarakat mendapatkan pewisik agar nama Desa Banyumala diubah menjadi Desa Banyuasri.
"Banyu itu artinya air. Sedangkan Mala itu artinya kotor. Nama itu kemudian diubah menjadi Banyuasri yang artinya air bersih. Harapannya agar wilayah desa ini menjadi bersih, asri, dan indah," jelasnya.
Gelar Tradisi Megibung
Tradisi Megibung atau makan bersama selalu dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Pakraman Banyuasri.
Kegiatan ini dilaksanalan ketika odalan digelar di Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura Segara.
Masyarakat bersama para penglingsir di Desa tersebut, duduk bersama-sama menikmati hidangan makanan yang disediakan, di atas daun pisang tanpa sekat.
Makanan yang disajikan pun sebelumnya dimasak oleh krama secara bersama-sama.
Hal ini dilakukan untuk menyatukan rasa menyame braya.