Liputan Khusus
Sepenggal Kisah Punk Bali, Galang Dana Korban Gempa Lombok Hingga Aksi Tolak Reklamasi
"Rakyat sengsara, karena pemimpin yang bodoh...!!!" teriak vokalis Natterjack disambut ketukan drum bertempo cepat
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - "Rakyat sengsara, karena pemimpin yang bodoh...!!!" teriak vokalis Natterjack disambut ketukan drum bertempo cepat saat menyanyikan lagu berjudul Anjing Koruptor.
Di bawah panggung, suasana tiba-tiba riuh-rendah. Ratusan pemuda dengan celana ciut, jaket penuh emblem, sepatu bot, badan penuh tato, dan rambut mohawk berpogo ria.
Mereka menggoyangkan badan, kepala, tangan, dan kaki mereka ke segala arah mengikuti tempo musik.
Konser punk bertajuk Charity Concert For Lombok itu diselenggarakan di Lapangan Yayasan Pembangunan, Jalan Danau Buyan III, No 3, Sanur, Denpasar, Minggu (2/9) dari pukul 14.00 sampai 22.00 Wita malam.
Siapa saja yang masuk ke areal konser, dimintakan sumbangan sukarela minimal Rp 10 ribu per orang.
Meski penampilan mereka selama ini condong dinilai negatif dan dianggap bak preman jalanan, namun jangan salah.
Konser musik punk yang dinaungi oleh Komunitas Punk Reformasi itu adalah sebuah upaya penggalangan dana untuk korban gempa Lombok.
Nantinya, hasil konser yang menghadirkan lebih dari 20 band punk ternama di Bali itu bakal disumbangkan 100 persen untuk korban bencana di Lombok.
Sebelumnya, Minggu (19/8) dua pekan lalu, konser serupa juga digelar di Taman Baca Kesiman, Denpasar.
Waktu itu, ada sekitar 22 band besar sekaliber Djihard, Total Vandal, The Disland, Total Idiot, Rejeck, dan puluhan band punk lain dari seluruh kabupaten/kota di Bali yang tampil dalam acara yang bertajuk In Charity Punk Reformasi Bali For Lombok itu. Bahkan, puluhan band tersebut tampil tanpa dibayar sepeserpun.
Dari acara amal atau charity Punk Rerormasi itu, duit yang berhasil mereka kumpulkan tidak main-main, yaitu sebesar Rp 26 juta.
Jumlah tersebut terkumpul dari donasi pengunjung konser, para sponsor dan berbagai komunitas punk.
Saat konser punk berlangsung, teriakan lagu-lagu dengan lirik perlawanan terus menggema.
Sebagaimana diketahui, lagu-lagu yang mereka ciptakan sebagian besar adalah soal perlawanan terhadap penguasa, kehidupan sosial, kekejaman politik dan pembelaan terhadap rakyat kecil yang tertindas.
"Sayang Bali, tolak reklamasi!!! Sayang Bali, tolak dibohongi....!!!," teriak Roy Djihard yang membawakan lagu Bali Tolak Reklamasi milik Nosstress, yang dibawakan dengan versi punk underground.
Berbagai komunitas punk di Bali turut serta dalam kegiatan penggalian dana yang digelar sedari dua pekan lalu itu. Seperti Komunitas Para Brandals, Punk Reformasi, dan komunitas punk lainnya.
Komunitas Punk Reformasi dan Para Brandals memang begitu getol menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.
Sedari muncul rencana untuk mereklamasi Teluk Benoa, komunitas ini selalu aktif ikut turun ke jalan dan tergabung dengan gerakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBali).
Pada Minggu (26/8) lalu usai menggelar konser punk di Taman Baca Kesiman, perwakilan Punk Reformasi dipercaya oleh komunitas punk Bali lainnya untuk menyerahkan bantuan tersebut langsung ke Lombok.
Bagi Roy Djihard, kegiatan penggalangan dana itu murni sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap musibah yang dialami oleh masyarakat di Lombok.
"Kami sering main di sana. Komunitas Punk di Lombok juga sangat dekat dengan kami, dan hubungan kami sangat baik. Di luar itu semua, di manapun ada bencana kami siap membantu semampunya. Sebab, apapun suku, agama, kita satu Indonesia wajib saling membantu," ujar lelaki bernama lengkap I Gusti Agung Made Roy itu kepada Tribun Bali.
Semakin ke depan, rupanya para punkers Bali mengalami reformasi. Punk yang dulunya cuma dikenal masyarakat sebagai kumpulan orang-orang brutal, tak terurus, dan berandal, kini citra tersebut perlahan mulai berubah.
Di Bali, para punker membentuk sejumlah komunitas, salah satunya Komunitas Punk Reformasi
Punk Reformasi terbentuk seiring dengan adanya rencana reklamasi Teluk Benoa. Para punker Bali merasa terketuk hati mereka untuk ikut melakukan perlawanan dengan menggelar konser penggalian dana mendukung gerakan tersebut.
Selain itu, mereka juga sering ikut aksi bersama Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) di Renon, Denpasar.
"Awalnya, kami turun berpakaian ala punk. Pakai sepatu bot, rambut mohawk, pakai tindik dan, lainnya, namun akhirnya kami bersepakat turun berpakaian adat," kata salah satu penggerak di Komunitas Punk Reformasi, I Made Indrajaya alias Jayak.
Selain Jayak, Roy Vokalis Djihard bahkan rela membuat tato Bali Tolak Reklamasi (BTR) di bagian kaki kirinya.
Tato BTR--sebutan akrab para aktivis tolak reklamasi di Bali-- dibuat oleh Erick Tatto pada tahun 2015.
"Waktu itu, mulai ada perusakan-perusakan terhadap baliho BTR dimana-mana. Saya berpikir jika saya membuat tato di kaki saya, setiap hari orang-orang akan bisa melihat gambar penolakan reklamasi Teluk Benoa," kata pria berambut mohawk dengan tindik di bibir dan hidungnya itu.
Jika kita melihat kaki kiri Roy, kita ibarat melihat baju BTR yang kerap digunakan para aktivis BTR saat melakukan aksi bersama.
Kendati tahun 2015 Roy belum yakin 100 persen Teluk Benoa akan menang melawan investor, namun ia berpikir setidaknya tato tersebut menjadi catatan sejarah bagi dirinya beserta anak cucunya nanti bahwa ayah dan kakeknya dulu menolak reklamasi Teluk Benoa.
Selain gerakan BTR, Punk Reformasi juga kerap melakukan konser amal atau charity untuk mengumpulkan sumbangan guna membantu korban-korban bencana alam, seperti bencana Gunung Agung, dan gempa Lombok yang baru-baru ini terjadi.
Bahkan, apabila ada pihak tak berdaya yang memerlukan bantuan urgent, Punk Reformasi mengaku sempat beberapa kali memberikan bantuan.
"Misalnya kalau ada anak putus sekolah, kami bersama teman-teman mengumpulkan dana dan membantu. Meskipun tidak bisa mengatasi masalah mereka, setidaknya meringankan," tambah Jayak, vokalis Criminal Asholle.
Kepada para komunitas punk di seluruh Bali, khususnya yang masih muda, Jayak mengajak agar pilihan menjadi punk tidak lantas melupakan hal-hal lain, seperti tanggungjawab terhadap keluarga dan masyarakat terdekat di wilayah tempat tinggal.
"Kalau ada yang mengkritik, biarkan saja. Sebaliknya kita buktikan bahwa kita seperti ini tapi kita tanggungjawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat," harap Jayak. (*)