Simpang Ring Banjar
Simbol Pertemuan Purusa dan Pradana, Tarian Sakral Ratu Brutuk di Desa Terunyan
Tarian ini merupakan ilen-ilen (hiburan) dalam rangkaian upacara purnamaning kapat lanang yang digelar tiap dua tahun sekali
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Setibanya, ia bertemu dengan seorang dewi yang bertahta dan berkuasa di Terunyan.
Aroma harum tersebut berasal dari sang dewi.
Pengembara jatuh cinta dan menikahi sang dewi.
Setelah menikah, pengembara tersebut bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat.
Sedangkan sang dewi bergelar Ratu Pingit Dalem Dasar.
“Ilen-ilen ini menjadi salah satu yang dipentaskan untuk menghibur para krama yang ngayah pada acara pernikahan itu. Bentuk-bentuk tapel, menggambarkan perwujudan karakter Ratu Sakti Pancering Jagat, yang semata-mata untuk melindungi sang istri. Tentunya dilengkapi dengan sarana, seperti cemeti (cambuk/pecut), pentung, dan daun lateng yang menyebabkan gatal,” jelasnya.
Ilen-ilen berupa pementasan Ratu Brutuk digelar selama dua hari, yakni pada tanggal 28 dan 29 September.
Pada hari pertama, penari terdiri dari 19 orang, dan pada hari kedua terdiri dari 21 penari.
Para penari Ratu Brutuk secara sadar menjelajah bagian utama mandala Pura Pancering Jagat mengenakan keraras atau daun pisang kering.
Keraras yang digunakan berasal dari pohon pisang yang baru tumbuh, dengan tinggi baru satu meter.
Selain itu, masing-masing penari juga membawa sebuah cemeti berbahan ijuk dengan panjang bervariasi, mulai dari enam hingga tujuh meter.
“Kenapa menggunakan sarana pecut? Sejatinya bukan sebuah tindakan kekerasan yang disengaja. Pecut ini bertujuan untuk mengingatkan warga untuk tulus ikhlas saat ngayah. Di samping itu juga menjadi peringatan apabila pengayah atau penonton melakukan tindakan melanggar. Contoh menaiki tembok yang seharusnya bukan tempat memasuki pura, maupun berbicara tidak sopan saat ngayah,” paparnya.
Di samping itu, Ketut Jaksa juga mengakui, tentang kepercayaan di masyarakat bilamana tidak sengaja terkena cambukan dapat menyembuhkan penyakit.
Kata dia, hal tersebut memang sempat terjadi sehingga menjadi kepercayaan secara turun temurun.
Demikian pula dengan keraras yang juga dipercaya mampu menjadi tolak bala.