Simpang Ring Banjar
Simbol Pertemuan Purusa dan Pradana, Tarian Sakral Ratu Brutuk di Desa Terunyan
Tarian ini merupakan ilen-ilen (hiburan) dalam rangkaian upacara purnamaning kapat lanang yang digelar tiap dua tahun sekali
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
“Yang jelas, seluruhnya kembali pada keyakinan para pemedek. Sebab, Ratu Brutuk dipercaya sebagai perwujudan dewa. Kapan lagi bisa mempersembahkan sesuatu dari umat langsung pada dewa? Walaupun sesuatu yang dihaturkan kecil, asalkan tulus ikhlas dipersembahkan dan beliau menerima, tentunya beliau memberikan restu untuk mengabulkan harapan dari pemedek. Sebab itu pada pementasan banyak yang mengatakan ‘nunas tu, nunas tu..,’ itu artinya para pemedek mengharapkan berkah langsung,” tuturnya.
Mereka yang menarikan Ratu Brutuk Jero adalah laki-laki yang masih perjaka berusia 15 hingga 25 tahun.
Mereka berasal dari dari lima banjar adat yang adat di Desa Terunyan, yakni Banjar Adat Terunyan, Banjar Adat Madia, Banjar Adat Bunut, Banjar Adat Puseh, dan Banjar Adat Mukus.
Para teruna tersebut harus menyucikan diri dari hawa nafsu selama 15 hari di pura, yakni mulai dari tilem hingga purnama dengan cara tidak boleh berhubungan dengan wanita (gadis).
Bilamana pantangan dilanggar, akan berakibat buruk pada teruna tersebut.
“Mengapa hanya Teruna?, karena teruna nantinya akan menjadi tulang punggung keluarga. Sebagai kepala keluarga, tentu seorang pria harus kuat dan bermental baja, karena diharapkan mampu mengadapi segala rintangan dan tantangan dimasa yang akan datang,” sebutnya.
“Jika pantangan dilanggar, yang bersangkutan (teruna) akan mengalami kecelakaan, cedera, dan yang paling buruk berakibat kematian. Karena tarian ini adalah tari sakral, tentunya para teruna harus betul-betul menyucikan diri lahir maupun batin,” sambungnya.
Bali Mula Tak Kenal Perbedaan
Berbeda dengan sistem administrasi penduduk di wilayah Desa Adat lainnya.
Di Desa Adat Terunyan, justru tidak mengenal sistem Balu Angkep.
Otomatis, seluruh krama berjumlah 642 kepala keluarga dari lima banjar adat di Desa Terunyan berstatus arepan.
Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang Desa Adat Terunyan yang merupakan Bali Mula yang tidak mengenal perbedaan.
Sebab itu di Desa Terunyan, setelah seseorang krama setempat menikah diwajibkan untuk ngayah di Desa Adat.
“Istilah ini disebut meglilig lesung, seluruh krama wajib ngayah utamanya di Pura Pancering Jagat,” ujar I Ketut Jaksa.
Istilah Bali mula yang melekat pada Desa Terunyan juga tercantum dalam tiga prasasti Desa Terunyan yakni Prasasti Terunyan A1, Terunyan A2, dan Terunan B.
Ketiganya ditulis pada tahun 833 Caka menggunakan bahasa Bali Kuna. (*)