Gede Raka Tak Bisa Bergerak Sejak Lahir, Balita Asal Padangsambian Kelod Derita Gizi Buruk
Bocah laki-laki asal Padangsambian Kelod, Denpasar Barat itu diduga memiliki penyakit bawaan atau kelainan konginetal sejak lahir
Penulis: eurazmy | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Di balik kemajuan pesat Kota Denpasar ternyata masih menyimpan duka.
Pasalnya, di kota ini ternyata masih saja dijumpai kasus gizi buruk.
Seperti dialami Gede Raka Aditya Pratama (5).
Bocah laki-laki asal Padangsambian Kelod, Denpasar Barat itu diduga memiliki penyakit bawaan atau kelainan konginetal sejak lahir sehingga mengalami gizi buruk.
Keterbatasan fisik membuat Gede Raka hanya bisa tergolek lemah tak berdaya di atas ranjangnya saat Tribun Bali mengunjunginya, di ruang Cempaka RSUP Sanglah, Denpasar, Rabu (28/11/2018).
Ia saat itu baru bangun dari tidur dengan nafas yang tampak tersengal tak beraturan.
Hingga di usianya yang menginjak tahun kelima ini, ia masih tak mampu duduk dan beraktivitas seperti anak normal pada umumnya.
Gede Sugiarta (30), sang ayah mengatakan, kondisi anaknya ini sesuai perkataan dokter lantaran mengalami kelainan kongenital atau penyakit bawaan sejak lahir.
Kata dia, sewaktu lahir anaknya diduga mengalami kelainan pada pusat saraf motorik sehingga mengganggu semua fungsi tubuh.
"Jadi dia nggak bisa bergerak sejak lahir. Duduk saja tidak bisa. Tulang leher belakang sama punggung anak saya itu lemah sekali. Nafasnya juga kayak gini (tersengal-sengal) sejak lahir," katanya.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, kelainan konginetal merupakan kelainan (abnormalitas) yang terjadi pada janin selama masa perkembangan janin sebelum kelahiran.
Kelainan tersebut dapat berupa kelainan struktur atau fungsi anggota badan janin.
Umumnya, kelainan kongenital dapat dideteksi seiring dengan tumbuh kembang anak, seperti gangguan pendengaran, kelainan jantung kongenital, down syndrome dan kelainan organ saraf kongenital.
Penyebab munculnya kelainan kongenital tidak dapat diidentifikasi secara pasti.
Ia melanjutkan, kelahiran anak pertamanya ini awalnya mempunyai bayi kembar.
Namun, salah satunya dinyatakan meninggal dalam kandungan (pecah ketuban).
Selanjutnya, anaknya lahir normal sebagaimana biasa.
Namun selang setahun, ia baru menjumpai ada yang berbeda dari anaknya dan ini berjalan hingga di tahun ketiga.
"Tulang leher belakang anak saya itu lemah. Nggak bisa bergerak itu dia. Tulang punggung juga lemah. Ya memang benar bayi ini tumbuh panjang, tapi tidak bisa gemuk, tumbuh kembangnya tidak normal. Ngomong saja dia nggak bisa, menelan makanan juga susah," jelasnya trenyuh.
Sebenarnya, lanjut dia, ia ingin anaknya dirawat di rumah sakit.
Namun berhubung keluarga kecil ini hidup dalam ekonomi yang pas-pasan, ia terpaksa hanya mampu membawa anaknya berobat di sarana pengobatan alternatif.
"Bagaimana mau berobat kalau sudah kalah sama biaya. Penghasilan saya waktu itu nggak menentu karena kerja juga serabutan. Mulai jadi karyawan laundry hingga kuli bangunan saya pernah," kata pria yang kini telah berprofesi sebagai satpam ini.
Namun, rupanya pengobatan alternatif ini tak kunjung berbuah hasil.
Hingga akhirnya, pada Kamis (22/11/2018) lalu, kondisi anaknya tiba-tiba memburuk.
Sang anak, kisah dia, mulai rewel bahkan tubuhnya lesu dan pucat.
Khawatir akan hal itu, dia langsung membawa anaknya ke puskesmas dan dirujuk rawat inap di RSUP Sanglah.
Di sana, ia baru tahu bahwa anaknya didiagnosa mengalami kelainan pada pusat saraf motorik sehingga mempengaruhi seluruh fungsi organ.
Lebih lanjut, ditanya soal biaya pengobatan yang sudah dihabiskan selama dirawat di RSUP Sanglah, ia belum tahu-menahu.
Yang jelas, ia sudah mendaftarkan anaknya ikut program JKN-KIS.
Biaya pengobatan, kata dia, sudah bisa ditanggung BPJS Kesehatan.
Namun, ia tetap khawatir jika BPJS Kesehatan nantinya tidak menanggung seluruh biaya pengobatan anaknya.
Sebelumnya, sejumlah kolega dan keluarga besarnya telah membantu mengurus program bantuan kepada Pemkot Denpasar.
Namun, jawaban yang didapat ternyata membuat kecewa.
Dikatakan dia, Pemkot hanya bisa menanggung bantuan biaya pengobatan jika pasien terdaftar pada BPJS Kesehatan Kelas III.
Sementara, keluarga sudah memiliki BPJS Kesehatan mandiri dan tergolong di kelas II.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dr Luh Putu Sri Armini MKes mengakui pihaknya hanya bisa membantu penanganan pengobatan pasien kurang mampu jika terdaftar pada BJPS Kes Kelas III.
Sesuai prosedur, kata dia, pasien yang terdaftar selain di kelas III berarti dianggap mampu.
"Meski begitu, kami akan tetap berusaha membantu mencari solusi bantuan kepada keluarga pasien ini. Mungkin nanti melalui Program Bantuan Iuran (PIB) dari Dinas Sosial. Karena soal bantuan itu ranah Dinsos," katanya.
Lebih lanjut, saat ditanya terkait kasus gizi buruk di Kota Denpasar, ia mengakui bahwa kasus gizi buruk masih menjadi PR besar pemerintah selama ini.
Namun dalam perkara ini, kata dia, penyebab gizi buruk pada pasien bukanlah karena faktor eksternal.
Sebagai informasi, merujuk dari survei data Pemantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2015-2017 menyebutkan Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung sebagai daerah yang terbebas dari masalah gizi. (*)
