Simpang Ring Banjar
Merusak Tapi Disakralkan, Dilema Keberadaan Kera untuk Petani
Kera yang kerap menyerang lahan persawahan warga jumlahnya bahkan telah mencapai ribuan ekor
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Berada di wilayah perkotaan, tidak lantas membuat Banjar Tegallalang pekat akan polusi.
Sebaliknya, suasana banjar yang berada di wilayah Kelurahan Kawan, Bangli ini justru sangat sejuk dan asri dengan luasnya hamparan sawah.
Warga sekitar, Sang Ketut Rencana mengatakan, pengertian Tegallalang secara umum terdiri dari dua kata, yakni Tegal dan Lalang.
Tegal artinya ladang kering, sedangkan lalang artinya ilalang.
“Jadi bisa dibilang seluruh wilayah ini merupakan hamparan ilalang,” ungkapnya.
Wilayahnya yang merupakan hamparan ilalang, mulanya cenderung terisolasi.
Namun, memasuki zaman kerajaan, ditambah dengan pertumbuhan penduduk, wilayah Tegallalang mulai dihuni oleh masyarakat sekitar maupun dari daerah tetangga.
“Sejak zaman kerajaan inilah masyarakat mulai bertani dan hingga saat ini, jumlah petani secara keseluruhan mencapai 500 orang,” katanya.
Hamparan sawah yang luasnya mencapai 40 hektare, tentunya memiliki berbagai kendala.
Salah satunya serangan kera yang diketahui telah terjadi sejak tahun 1990.
Sang Rencana mengatakan, jumlah kera ini tidak hanya satu maupun dua ekor.
Kera yang kerap menyerang lahan persawahan warga jumlahnya bahkan telah mencapai ribuan ekor.
Akibatnya, lahan warga yang semula produktif kini cenderung tidur.
“Kera itu beranak pinak hingga totalnya kini mencapai ribuan. Sejatinya, kera-kera yang menyerang lahan persawahan masyarakat ini tidak hanya dikarenakan kekurangan makan. Kebanyakan dari mereka juga jahil, sebab tanaman milik masyarakat dirusak hanya untuk bermain saja,” katanya.
Akibat serangan kera itu, pihaknya di banjar sudah melakukan berbagai upaya penanganan.
Mulai dari penanganan secara pribadi, maupun meminta bantuan pada pemerintah kabupaten.
Di pemerintahan setempat, pihaknya mengatakan bahwa kera bukan meruapakan golongan hama, sehingga tidak ada anggaran untuk serangan kera.
Pihaknya kemudian meminta bantuan pada pemerintah provinsi.
Memang, diakui sudah sempat ada tanggapan dari pemerintah provinsi, namun hanya langkah awal tanpa ada tindak lanjut.
“Sekitar enam tahun lalu sudah ada tanggapan. Upaya penanganan dikatakan step by step, dengan langkah awal berupa persembahyangan. Hanya saja, pasca dilakukan persembahyangan tidak ada lagi upaya lanjutan. Bahkan hingga saat ini. Lantas bagaimana cara meningkatkan produktifitas petani, apabila keluhan-keluhan yang ada di kalangan masyarakat, khususnya petani tidak diselesaikan hingga tuntas,” ujarnya.
Di sisi lain, oleh masyarakat setempat kera-kera tersebut dipercaya sebagai binatang sakral.
Hal ini diperkuat dengan pengakuan sejumlah masyarakat yang pernah membawa pulang, maupun menembak kera.
Terlepas dari kepercayaan masyarakat sekitar, menurut Sang Rencana, apabila upaya penanganan dilakukan dengan baik-baik, tentu tidak akan mendapat suatu hambatan.
“Kenapa tidak? Pada dasarnya kera juga termasuk binatang ciptaan tuhan, namun segala kegiatan harus diawali dengan persembahyangan. Artinya meminta izin pada tuhan, apabila memang binatang itu merupakan makhluk gaib, mohon izin untuk dikembalikan. Sebaliknya, apabila binatang itu meruapakan hewan liar, mohon izin juga pada tuhan untuk dilakukan relokasi,” ucapnya.
Mohon Kelancaran Tatkala Upacara

Salah satu keunikan yang ada di wilayah Banjar Tegallalang yakni dengan keberadaan Pura Nyeti.
Bisa dikatakan, tempat peribadatan ini tidak begitu luas.
Namun yang istimewa, Pura Nyeti menjadi tujuan masyaarkat mulai dari puri maupun masyarakat lainnya untuk memohon kelancaran tatkala hendak menggelar sebuah upacara.
Jero Mangku Pura Nyeti mengatakan, seluruh masyarakat Desa Tegallalang percaya bahwa sebelum pelaksanaan upacara agama apapun wajib didahului dengan melakukan persembahyangan di Pura Nyeti.
Sebab apabila tidak melakukan persembahyangan, upacara yang digelar tidak akan pernah selesai ataupun berjalan dengan lancar.
“Hal ini memang sudah dipercaya oleh masyarakat sekitar, puri-puri di Bangli, maupun masyarakat luar. Mereka yang tidak mengawali upacara di sini, akan diganggu oleh hewan-hewan sejenis kucing, anjing, maupun lalat yang entah dari mana datangnya. Selain hewan, terkadang pula permasalahan di internal keluarga sehingga pelaksanaan upacara tidak bisa berjalan lancar,” ungkapnya.
Di sisi lain, lanjutnya, apabila masyarakat sekitar sudah menggelar upacara akan diberikan kelancaran.
Katanya, beberapa masyarakat bahkan mengaku dibantu seseorang yang entah dari mana datangnya untuk menyelesaikan persiapan upacara tanpa meminta imbalan.
“Selain itu, Pura Nyeti ini juga kerap didatangi oleh pamedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, serta kesehatan,” tandansya. (*)