Peduli pada Lingkungan Itu Yadnya

Robi Navicula adalah satu contoh anak muda Bali yang konsisten menyuarakan isu pengurangan sampah plastik

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Ni Ketut Sudiani
Gede Robi Supriyanto, Musikus dan Aktivis Lingkungan. 

Wawancara Khusus Robi Navicula tentang Sampah Plastik

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Persoalan plastik di Bali dan Indonesia secara menyeluruh, terus menerus menghantui lingkungan kita.

Berpuluh-puluh tahun berbagai gerakan dan kampanye telah dilakukan, namun belum banyak memberikan perubahan.

Permasalahan ini kian kronis, makin darurat.

Bahkan disinyalir jika tidak segera terjadi perubahan di segala lini, dari pemerintah, masyarakat, maupun pengusaha, Bali akan menjadi Pulau Plastik.

Robi Navicula adalah satu contoh anak muda Bali yang konsisten menyuarakan isu ini.

Berikut perbincangan Tribun Bali dengan Robi di kediamannya di Ubud, Gianyar.

Persoalan plastik ini sudah sangat lama dan banyak gerakan yang telah dilakukan. Bagaimana Bli melihat kondisi terkini dengan yang 5 tahun sebelumnya?

Ekosistem sekarang sudah terbentuk dengan pemerintah secara serius ikut ambil andil.

Sebenarnya plastik berbayar sudah berlaku tahun 2017.

Hanya saja itu tidak konsisten karena dalam beberapa bulan sudah dicabut.

Mungkin saat itu karena ada lobi dari perusahaan atau persoalan plastik tidak dijadikan isu prioritas.

Masyarakat juga tidak begitu bergejolak ketika itu.

Tahun 2019 pemerintah membuat langkah besar, baik di level wali kota, bupati, maupun gubernur.

Mereka sudah menjadi bagian dari perubahan.

Baca: Koster Cari Waktu Tepat Tutup Taksi Online, Siapkan Sistem Aplikasi Online Lokal

Baca: Misterius, Mobil Terlacak GPS Jatuh ke Jurang, Kadek Rifki Sudah 13 Hari Belum Ditemukan

Sekarang tinggal sosialisasi ke pemerintah dan menekan corporate.

Isu ini menjadi isu yang berkembang.

Masyarakat Bali pada umumnya masih dalam level jangan buang sampah sembarangan.

Perda tentang itu sudah ada, tinggal penegakan hukumnya.

Sejak 15 tahun lalu, saya mengikuti semua isu.

Sekarang harusnya sudah naik kelas.

Pencegahan penyakit itu yang harus dilakukan, bagaimana agar plastik itu tidak keluar.

Masyarakat juga harus sudah naik kelas.

Perwali dan Pergub kan tidak ada sanksi hukum ya?

Memang belum ada sanksinya.

Makanya harus dikawal terus hingga menjadi Perda (Peraturan Daerah).

Memang bukan berarti dengan adanya peraturan itu, permasalahan kelar.

Perjuangannya masih panjang.

Baca: Kejaksaan dan KPK Lacak Aset Alay di Bali, Tim Eksekutor Kejati Lampung Jemput Buron Kelas Kakap

Baca: 23 Tahun Transformasi Jeremy Teti, dari Pembaca Berita hingga Presenter Acara Gosip

Kami mendukung agar ini dikawal terus karena Perwali (Peraturan Wali Kota) dan Pergub (Peraturan Gubernur) belum kuat.

Walaupun ini sebuah langkah besar dan kami menghargainya.

Seberapa jauh perjuangannya agar bisa menjadi Perda?

Kekuatan secara politik, sesuatu akan menjadi prioritas di level pemerintah apabila menjadi perbincangan utama di masyarakat.

Sebuah permasalahan akan menjadi perbincangan serius di level pemerintah apabila menjadi perbincangan terus menerus di masyarakat.

Bagaimana Bli melihat kemungkinan gesekan antara kepentingan pihak pengusaha dengan peraturan pemerintah?

Sebenarnya plastik adalah produk yang sangat ekonomis.

Kami sekarang concern-nya pada plastik sekali pakai yang begitu keluar dari warung, toko, sampai di rumah langsung dibuang.

Baca: Bakal Cepat Basi dan Rusak, 5 Makanan Ini Pantang Dimasukkan Lagi ke Freezer Setelah Dikeluarkan

Baca: Komitmen Terapkan E-Tukin, Bupati Suwirta Terus Lakukan Evaluasi

Begitu juga dengan sedotan plastik, dipakai kurang dari tiga menit, tapi untuk mengurainya perlu ratusan tahun.

Bayangkan di Indonesia saja, menggunakan 500 juta kantong plastik setiap hari. 92 juta sedotan plastik per hari.

Bayangkan semua ini dibuang ke TPA dan karena caranya buruk, TPA bukan solusi, tapi cara yang paling primitif.

Sekitar 40 persen sampah yang dibuang ke TPA, berakhir di laut.

Biaya lingkungan ini mahal sekali.

Sekarang tidak boleh ada lagi plastik sebagai barang gratis.

Apakah menurut Bli ada gerakan-gerakan yang punya hidden agenda (agenda tersembunyi) seperti yang dilakukan orang asing di Bali mungkin?

Setiap orang mempunyai areanya masing-masing.

Kita mendukung semua gerakan yang sudah ada.

Tapi masih ada kekosongan besar. 

Di kampung misalnya.

Bagian itu yang belum tersentuh.

Makanya, kami buat Pulau Plastik ini.

Kepala desa masih bisa mengerti. 

Baca: Polres Buleleng Duduki Peringkat 3 Polres Terbaik Se-Indonesia

Baca: Viral Pria Rusak Motor Sendiri karena Tak Terima Ditilang, Ini Penjelasan Polisi

Local wisdom-nya ada.

Di Bali, masyarakat adat harus masuk.

Solusi ini hanya akan ada apabila masyarakat, pemerintah, dan pengusaha sepakat.

Harus diakui bahwa kita semua bagian dari permasalahan ini.

Saya percaya dengan kolaborasi.

Jadi langkah kecilnya minimal mulai dari keluarga sendiri dulu?

Betul, dari rumah harus sudah beres dulu.

Kalau sampai bocor di desa, kelar di desa.

Desa sudah punya dana desa dan 30 persennya untuk sampah.

Kalau tidak dikelola dengan benar, berarti ada kesalahan planning

Sebenarnya dana itu lebih dari cukup.

Nah, untuk video edukasi Pulau Plastik ini episode berikutnya kapan akan diluncurkan?

Delapan video itu rencananya tahun ini semua.

Harapannya begitu.

Kami sedang diskusi untuk gabung dengan visinema karena konsernya sama.

Sekarang mereka tertarik dengan dokumenter.

Kemungkinan nanti setelah 8 episode ini nantinya akan menjadi satu film utuh.

Ini masih kami diskusikan.

Saya ingin menjadikan Bali bisa jadi role model untuk inspirasi daerah lain.

Masing-masing tempat pasti ada penjaga gawangnya.

Misalkan di Bali ada desa adatnya.

Baca: RESMI DIBUKA Pendaftaran PPPK 2019 di sscasn.bkn.go.id, Cek Formasi dan Panduannya di Sini

Baca: Gunung Agung Kembali Erupsi Dini Hari Tadi, Sinar Api Teramati saat Terjadi Letusan

Dari delapan episode ini apakah memiliki judul yang berbeda-beda?

Judul besarnya untuk semua episode tetap Pulau Plastik.

Tapi untuk masing-masing episode ada subtemanya.

Misalkan episode kedua tentang efeknya dengan politik, ketiga fenomena alam, keempat satu hari bersama pemulung, kelima tentang Tri Hita Karana.

Siapa penggagas idenya Bli, siapa tim kreatifnya?

Tim kreatif awal ada saya, Lakota, dan Ewa dari Kopernik.

Setelah itu baru jumlah timnya semakin bertambah.

Sampai akhirnya Asa Film ikut masuk.

Tidak bisa semua dikerjakan sendiri.

Hingga kemudian National Geography bergabung.

Apa motivasi Bli yang mendorong bisa terus konsisten menyuarakan isu ini?

Aku percaya selalu ada kebaikan di setiap diri seseorang.

Kita percaya ada hope, harapan di sini.

Semua orang pasti tidak ingin merugikan lingkungan.

Kita bisa menciptakan sesuatu yang baik untuk kita, anak kita, cucu kita.

Ada semacam tanggung jawab di sini, yadnya. 

Ini ibadah kita.

Saya selama ini dikasi bakat untuk buat lagu dan menulis lirik, lalu bagaimana dengan kontennya?

Di sana kami bisa ikut bersuara. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved