Hasil Penelitian FKP Unud: Sampah di Pantai Kuta 80% Plastik

Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana mengkaji sampah di Pantai Kuta sejak tahun 2014 hingga 2015, hasilnya 80 persen sampah plastik

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Hisyam Mudin
Petugas DLHK Badung Membersihkan Sampah Sisa Malam Tahun Baru 2018 Di Pantai Kuta, Senin (1/1/2018) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana mengkaji sampah di Pantai Kuta sejak tahun 2014 hingga 2015.

Sebanyak 80 persen sampah yang berada di laut merupakan sampah plastik.

“Di Pantai Kuta kami melakukan riset, ditemukan 70 sampai 80 persen adalah sampah plastik,” ujar Akademisi Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana, Dr Gede Hendrawan mengatakan dalam diskusi membedah Raperda tentang RTRW Provinsi Bali dari perspektif lingkungan di Kantor Kompas Denpasar, Jumat (22/2/2019).

Kata dia, sampah-sampah tersebut sumbernya memang berasal dari darat maupun aktivitas di laut. Namun secara umum, 80 persen berasal dari darat.

“Itu artinya kegiatan dan aktivitas yang dilakukan di darat ternyata masih kacau. Kenapa masih ada kebocoran 80 persen sampai ke laut?” ujar Hendrawan bernada tanya.

Dalam Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Bali tahun 2009, ada pasal yang terkait dengan sampah.

Di dalamnya juga menyebutkan pelarangan pembuangan sampah sebelum dipilah. Namun implementasinya sangat tak optimal.

Sampah plastik yang banyak jumlahnya sangat merusak ekosistem laut, terutama sampah yang berupa mikroplastik.

“Kalau makroplastik yang bisa dilihat kasat mata lebih mudah untuk dibersihkan, sedangkan mikroplastik susah dibersihkan. Sangat berbahaya dan dampaknya sangat buruk bagi lingkungan,” tuturnya.

Hendrawan memaparkan, ekonomi Bali tergantung dari pariwisata. Lebih dari 80 persen daerah pariwisata di Bali berada di wilayah pesisir.

Artinya ketika lingkungan pesisir hancur, maka pariwisata akan hancur dan ekonomi Bali juga akan hancur.

“Jadi ketika Perda RTRW direvisi, lingkungan menjadi hal dominan yang harus dibahas. Aspek lingkungan menjadi ujung tombak ketika akan membangun Bali, yang ekonominya digerakkan oleh pariwisata. Dan pariwisata akan tetap langgeng ketika lingkungan terjaga,” terangnya.

Role Model
Sementara itu, Manager Conservation International (CI) Indonesia, Made Iwan Dewantama menyoroti permasalahan sampah yang ada di TPA Suwung.

Terkait dengan persoalan sampah ini, ia mengusulkan dalam revisi Perda RTRW ini dapat mengatur agar setiap kabupaten/kota  mengelola sampahnya di wilayah masing-masing.

Diskusi membedah Raperda tentang RTRW Provinsi Bali dari perspektif lingkungan di Kantor Kompas Denpasar, Jumat (22/2/2019).
Diskusi membedah Raperda tentang RTRW Provinsi Bali dari perspektif lingkungan di Kantor Kompas Denpasar, Jumat (22/2/2019). (Tribun Bali/Wema Satya Dinata)

“Di TPA Suwung memang ada persoalan yang memang perlu diselesaikan segera, tapi kemudian yang lain adalah bagaimana kemampuan mengelola sampah di tiap kabupaten/kota itu dibangun, dan itu diharapkan muncul dalam tata ruang,” kata Iwan.

Ia mendukung TPA Suwung bisa menjadi semacam role model agar mampu mengelola sampah dengan baik seperti menjadi eco park, maupun tempat wisata sehingga orang tertarik berkunjung ke sana.

“Contoh bagaimana kita mampu mengelola sampah. Seharusnya di Suwung itu yang terjadi. Ini juga didukung oleh (pemerintah) pusat,” imbuhnya.

Tujuh Masalah
Dalam revisi Raperda tentang tata ruang terdapat 3 hal pokok yang menjadi perhatian yaitu aspek politik, teknokratik dan partisipatif.

Sejauh mana aspirasi masyarakat mendapat ruang dalam proses penyusunan dan pelaksanaan sampai pengawasan tata ruang tersebut.

“Saya sebagai warga Bali merasa Perda (lama) nomor 16 tahun 2009 ini bermasalah berat, banyak pelanggaran dan dari aspek lingkungan, saya mempunyai beberapa indikator yang menyatakan lingkungan kita tambah rusak,” ujar Manager Conservation International Indonesia, Made Iwan Dewantama

Dikatakannya dalam rezim tata ruang memang sebenarnya menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Namun, menurut Iwan, terdapat tujuh masalah lingkungan yang ada dalam revisi Perda RTRWP tahun 2009, yaitu persoalan hutan, ancaman kekurangan air baku, kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan sawah, abrasi, pemantapan mitigasi dan adaptasi bencana dan sampah.

Di sisi lain, amanat dari Undang-undang menyebutkan bahwa Perda RTRW, yang berlaku selama 20 tahun harus dievaluasi per lima tahun sekali.

“(Perda RTRW) ini evaluasinya sudah bagus gak, kalau ada yang cacat ayo diperbaiki sehingga dalam proses revisi  bisa diperbaiki terkait kerusakan-kerusakan atau hal-hal yang kurang relevan dalam konteks pengendalian pembangunan,” tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved