Simpang Ring Banjar
Gamelan Selonding di Desa Padangan, Tedun Lima Tahun Sekali Saat Bhatara Turun Kabeh
Desa Padangan memiliki Gamelan Selonding, sebuah alat musik tradisional yang disakralkan oleh masyarakat setempat.
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Desa Pakraman Padangan merupakan satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pupuan, Tabanan. Desa ini kaya akan potensi alammnya seperti hasil pertanian dan perkebunan.
Selain kekayaan alam yang melimpah tersebut, Desa Padangan juga memiliki sebuah alat musik tradisional yang disakralkan oleh masyarakat setempat.
Gamelan Selonding namanya. Alat musik ini hanya tedun setiap lima tahun sekali atau pada saat Karya Yadnya Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada hari purnama kadasa di Pura Desa setempat.
Selain tedun setiap lima tahun sekali, gamelan ini juga mengiringi tarian-tarian yang disakralkan, di antaranya Tari Cecondongan dan Tari Lelangkaran.
Kemudian juga untuk mengiringi Tarian Lelegongan hingga Tari Rarejangan. Para penari dari tarian sakral ini juga ditarikan oleh anak yang baru menginjak remaja atau yang masih dikatakan suci (daha).
Perbekel Desa Padangan, I Wayan Wardita menuturkan, sejarah penemuan gamelan selonding masih simpang siur alias belum ada kepastian.
Sebab keberadaan gong selonding ini diperkirakan sudah ada sejak dahulu kala dan kemudian dicetakan secara turun temurun.
Keberadaan gamelan selonding di Desa Pekraman Padangan pada zaman dulu ditemukan pada hulu sebuah sungai kecil (pangkung) yang kemudian disebut sebagai Pangkung Selonding.
Atau lebih tepatnya terletak di sebelah selatan Pura Luhur Persimpangan Pucak Kedaton di desa setempat.
“Itu merupakan cerita, karena keberadaan selonding berbarengan dengan Desa Padangan kuno. Jadi tidak ada yang tau pasti kapan ditemukannya. Namun tempat ditemukannya selonding tersebut di sebelah selatan Pura Luhur Pesimpangan Pucak Kedaton yang sangat disucikan oleh masyarakat,” ujar Wardita.
Ia melanjutkan, sebelum ditemukan keberadaan gamelan ini kerap berbunyi sendiri pada hari-hari tertentu. Hal ini pun diketahui oleh semua warga setempat sehingga saat itu para pangelisir menggelar musyawarah untuk membahas hal tersebut.
“Nah hasil dari musyawarah tersebut baru dilakukan upacara, sehingga masyarakat menemukan gamelan ini di sebuah pangkung yang saat ini bernama Pangkung Selonding,” tuturnya.
Setelah ditemukan barulah selonding ini dibawa menuju Pura Puseh Desa Pakraman Padangan yang kemudian disakralkan oleh masyarakat.
Hanya saja, nada yang dikeluarkan dari gambelan ini cukup berbeda dan sangat sulit untuk dimainkan. Sehingga, para tokoh setempat membuat kebijakan sekitar tahun 1900 lalu agar gamelan ini dibuatkan semacam duplikat.
“Uniknya adalah untuk penabuhnya juga tidak sembarangan, artinya ada empat warga yang memang keturunan dari penabuh terdahulu. Jadi setiap generasinya ada yang menjadi penabuh selonding, namun saat ini penabuhnya sudah berumur,” imbuhnya.