Mulai Leak Hingga Pengasih-asih, Inilah Imu Magis Yang Masih Dipercaya Ada di Bali

Walaupun tak banyak orang yang bisa menjumpai wujud leak, tapi kebanyakan orang percaya bahwa ilmu leak itu ada.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
Intisarionline
Ilustrasi 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Di Bali ilmu magis atau mistis masih hingga kini masih banyak dipercaya meski zaman sudah semakin modern.

Ilmu tersebut pun terus berkembang bahkan dipercaya dapat memengaruhi kehidupan seseorang. 

Bagi kalian yang masih percaya, berikut Tribun Bali rangkum empat ilmu gaib yang masih dipercaya oleh masyarakat Bali.

1. Ilmu Pangeleakan

Siapa yang tidak kenal Leak Bali.

Walaupun tak banyak orang yang bisa menjumpai wujud leak, tapi kebanyakan orang percaya bahwa ilmu leak itu ada.

Dalam buku Leak Ngamah Leak karangan I Wayan Yendra (Mangku Alit Pakandelan), pada halaman 55 disebutkan terdapat empat cara orang bisa mendapatkan ilmu pangeleakan.

“Pertama, dengan cara meminjam sabuk pangleakan pada bapak, ibu, kakek, nenek, kumpi, saudara, teman, dan sebagainya. Maka dengan menggunakan sabuk itu, anda akan bisa ngeleak,” tulis Yendra dalam buku itu.

Selain itu, cara kedua yaitu dengan jalan membeli pada seorang balian pangiwa.

Ketiga dengan cara berguru pada balian pangiwa atau orang yang bisa ngeleak.

Dan yang keempat yaitu dengan cara belajar sendiri dari lontar atau buku tentang pangeleakan.

Selain itu, dalam wayang Cenk Blonk yang berjudul Ludra Murti dengan dalang I Wayan Nardayana juga dikatakan oleh tokoh Tualen ada empat jenis pangeleakan.

Pangeleakan jenis pertama disebut pangeleakan dewa, yaitu pangeleakan anugrah Dewa karena melakukan tapa semadi.

Yang kedua pangeleakan melajah, yang didapat melalui proses pembelajaran dengan mempelajari tutur aji ugig, dharma weci, atau berguru.

Selanjutnya ada pangeleakan keturunan, di mana saat orang yang bisa ngeleak, saat akan meninggal ilmunya berpindah kepada keluarga yang menungguinya.

Selanjutnya ada pangeleakan dengan membeli pada balian atau dukun.

Sementara itu, dalam buku Jejak Bhairawa di Pulau Bali karya Jiwa Atmaja halaman 95, dikatakan: beberapa balian yang bersedia memberi sedikit keterangan hanya mengatakan, kalau mau belajar leak datang saja ke kuburan pada tengah malam yang pekat.

Lebih lanjut dikatakan, paling baik adalah ketika tengah malam bulan mati, hari Kajeng Kliwon dengan membawa sanggah cucuk yang ditancapkan di tanah kuburan.

Sementara itu, dalam catatan yang dimiliki oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha Bhuana, dari Gria Batur Giri Murti, Glogor, Denpasar, disebutkan beberapa tingkatan ilmu leak dan jenis perubahannya.

Leak tingkat pertama atau tingkat paling rendah wujudnya berupa bojog atau kera abu-abu.

Pada tingkatan yang kedua wujudnya berupa kambing.

Setelah itu pada tingkatan yang ketiga akan menjadi bangkal atau bangkung (babi betina)

Tingkat empat perubahannya adalah menjadi ular, sepeda motor, dan mobil.

Tingkat lima berubah menjadi gegendu.

Saat mencapai tingkatan keenam akan menjadi bade, serta ayam putih.

Berwujud bojog putih atau kera putih pada tingkatan ketujuh.

Saat mencapai tingkat kedelapan menjadi rarung, waringin sungsang (beringin terbalik), dan anjing kurus.

Pada tingkatan kesembilan menjadi kasa dan jaka punggul.

Leak pada tingkatan kesepuluh akan menjadi rangda.

2. Bebai

Menurut Dosen Sastra Bali Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa sebagaimana yang ia baca dalam lontar Usadha Bebai, bebai tersebut dibuat dengan sarana bayi yang digugurkan.

"Dalam Usadha Bebai, bebahi berasal dari bayi hasil pengguguran kandungan. Setelah ditanam kemudian diambil, dirawat sedemikian rupa," kata Guna.

Bayi tersebut diupacarai sebagaimana bayi biasanya yang hidup.

Dilakukan upacara 12 hari, upacara tiga bulanan, otonan sehingga energi yang ada di dalam bayi tersebut bisa menganggap orang yang memeliharanya itu sebagai orangtuanya. 

"Karena ada rumus tertentu yang bisa nenarik jiwa dari seseorang melalui sebuah media sehingga datang lagi. Oleh karena itu bayi tersebut akan tumbuh dan menghamba pada yang memelihara," katanya.

Nantinya, bebai ini perlu darah untuk makanan, kalau tidak darah manusia, bisa darah ayam. 

"Inilah nantinya yang dikirim sehingga tumbuh dan dikirim masuk ke tubuh seseorang dan ini juga bisa diperjualbelikan," imbuhnya.

Orang yang dimasuki bebai ini disebut dengan bebainan. 

Guna menambahkan, dominan anak bebainan itu adalah wanita.

"Asumsinya berkaitan dengan siklus bulanan karena di saat titik tertentu ada perasaan sensi istilahnya, itu yang dimanfaatkan sehingga masuk ke dalam tubuhnya," katanya.

Bahkan seseorang yang bebainan tersebut bisa lost control dan dapat digerakkan oleh orang yang mengirim bebai tersebut. 

Sehingga jangan biarkan diri dikuasai amarah karena amarah akan memudahkan hal-hal negatif masuk ke dalam diri.

Guna menambahkan, saat diri dikuasai rasa amarah atau rasa benci, maka hal-hal yang negatif lebih mudah masuk ke dalam diri daripada hal-hal positif.

"Penyakit non medis dimasukkan dengan menggunakan kebencian. Apalagi ada masalah. Rasa marah adalah sarana. Sehingga orang yang iri akan mencari kesalahan kita sehingga kita marah," kata Guna.

Ketika wak parusia atau saat kita mengeluarkan kata-kata amarah itu  sebagai sarana yang sangat baik.

"Seseorang yang ingin mengirim penyakit harus memiliki kontak dengan sasarannya. Jika tidak maka dia tidak akan bisa. Itu sebagai landasan untuk menyakiti," imbuhnya. 

Untuk mengobati orang yang bebainan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tiga lembar daun sirih.

Dalam buku Aksara Bali dalam Usadha yang disusun Ngurah Nala, hal 136 disebutkan jika balian (dukun) dapat menghubungkan apinya dengan api orang sakit, maka pasien bisa ditolong.

Digunakan sarana tertentu disertai dengan penerapan dasaksara agar dapat memasukkan api (Ang) ke dalam tubuh pasien.

"Kalau apinya (Ang) sudah dipusatkan di pusar (nabhi), diambil tiga lembar daun sirih yang tiap lembarnya digambari atau ditulisi dengan dasaksara," tulis Ngurah Nala.

Dasaksara itu yaitu sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, dan yang.

Ketiga daun sirih tersebut dilipat menjadi satu dan dibubuhi kapur seperti orang makan sirih. 

Mantra yang menyertainya yaitu mantra pasupat dan mantra pangurip. 

Pasien yang sakit disuruh mengunyah daun sirih tersebut.

"Bila pasien menjerit-jerit, berarti bebahi yang berada dalam tubuhnya kepanasan oleh api (Ang) yang baru dimasukkan melalui kunyahan daun sirih. Penyakitnya akan lari ketakutan ke luar dari tubuh pasien. Akhirnya pasien menjadi sadar dan sembuh kembali seperti semula, menjadi normal," lanjut Ngurah Nala.

Namun dilanjutkannya, kalau bebahi lebih kuat, tidak mempan dibakar dengan api balian usadha, maka penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan akan tetap bermukim di dalam tubuh pasien.

3. Cetik

Cetik merupakan racun tradisional Bali yang diolah dengan bahan-bahan tertentu.

Agar cetik tersebut manjur, konon ada mantra dan pantangan yang mesti dilakukan.

Menurut Spiritualis di bidang pengobatan, Jro Nyoman Darmayuda dari Desa Payangan, Kecamatan Marga, Tabanan, seseorang yang kena cetik ini sulit terlacak dalam ilmu pengobatan medis.

"Orang kena racun (cetik) di medis pasti dibilang maag, perut kembung, asam lambung. Setiap hari kondisinya akan semakin lemah karena digerogiti cetik. Dan itu tidak bisa dideteksi di medis. Nanti 4 atau 5 tahun habis berat badannya," katanya saat ditemui di kediamannya.

Ia menambahkan, jika terkena cetik Bali pasti ginjal seseorang akan bengkak.

"Kalau ada aura negatif, saat diambil pasti akan merasakan sakit dan teriak. Dan bagaimanapun juga magic tidak akan bisa dilihat," imbuhnya.

Dengan kemajuan zaman saat sekarang ini, ia mengatakan sarana magic sudah ada di tangan.

Misal saat diberikan kopi dan di tangan pemberinya sudah ada magic-nya dan saat kopi dipegang itu sudah ada racunnya.

Seseorang tidak akan bisa melihat racun karena semua angin, magic, desti tidak bisa dilihat.

Menurutnya jika sakit sampai dua atau tiga kali berobat ke medis tapi belum ada perubahan, maka harus sigap menyikapinya.

"Harus sigap mengambil langkah, ada apa ini. Kalau sakit medis belum dua tiga kali berobat mungkin sudah ada perubahan. Kalau sampai dua tiga kali tambah parah harus cepat ngambil langkah. Kita harus nunas pemargi (meminta petunjuk) ke niskala. Kita minta petunjuk sama Beliau," paparnya. 

Saat ini juga banyak yang kena stroke ringan saat umur masih muda, baru 25 tahun atau 30 atau 40 tahun.

Hal tersebut penyebabnya secara medis 20 persen dan non medis hampir 50 persen bahkan lebih.

"Beberapa kali datang ke rumah sakit dibilang urat kejepit bahkan sakitnya tambah parah. Urat kejepit betul dalam medis, namun pasti ada unsur negatifnya," katanya. 

Selain itu terkait penyakit diabetes, jika diabet kering maka itu murni penyakit medis dan betul-betul tidak ada gangguan.

"Kalau diabet basah, 90 persen adalah penyakit nonmedis. Karena borok dari kecil, dua bulan sudah lubang besar. Kalau sudah begitu satu-satunya jalan maka kita harus yakin dan percaya dengan unsur niskala," imbuhnya.

4. Pangasih-asih

Ilmu pangasih-asih merupakan ilmu pelet khas Bali.

Ilmu ini biasanya digunakan untuk menaklukkan hati seseorang. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved