Kunjungan Wisatawan ke Subak Jatiluwih Harus Dikendalikan
Sejak kawasan Subak Jatiluwih berstatus Warisan Budaya Dunia (WBD), peningkatan wisatawan yang datang ke daerah tersebut semakin banyak
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Kunjungan Wisatawan ke Subak Jatiluwih Harus Dikendalikan
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Ir I Wayan Windia, SU menilai, semenjak kawasan Subak Jatiluwih berstatus Warisan Budaya Dunia (WBD), peningkatan wisatawan yang datang ke daerah tersebut semakin banyak.
Peningkatan itu, menurutnya, kini telah mencapai angka 300 persen, dimana pada awalnya berada di angka sekitar 50 ribu dan sekarang sudah berlipat ganda mencapai 200 ribu orang wisatawan per tahun.
Banyaknya wisatawan yang datang ke Jatiluwih itu mengundang investor berkeinginan membangun berbagai fasilitas pariwisata di daerah tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan alih fungsi lahan.
“Segala macam dibuat, dulu ada usul pemecahan masalah parkir, (maka) dibuat parkir, tahu-tahu parkir untuk restoran, kan gitu. Nambah rusak terus kan,” kata Prof Windia saat ditemui Tribun Bali di Gedung Pascasarjana Unud Kampus Sudirman, Denpasar belum lama ini.
Oleh karea itu, Prof Windia meminta agar jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih agar dikendalikan, karena itu merupakan salah satu janji kepada United Nation, Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) pada saat mengusulkan subak sebagai WBD beberapa tahun lalu.
Baca: BMKG: Prakiraan Cuaca 33 Kota Besar di Indonesia Kamis 9 Mei 2019
Baca: 30 Ekor Sapi Tak Layak Potong Bisa Keluar Bali, Dinas Karantina Kecolongan?
“Kendalikan orang masuk ke sana. Kendalikan berapa memang kapasitas daya tampungnya, harus diukurlah,” pinta Guru Besar Fakultas Pertanian itu.
Pengendalian wisatawan yang datang ke sana juga harus diikuti dengan nilai jual yang lebih tinggi.
“Karena begitu indahnya pasti orang mau kan. Mungkin orang mengantre ke sana. Kalau orang sampai antre ke sana, kan nilai jualnya tinggi,” tuturnya.
Windia menyontohkan, salah satu wisata di Bhutan misalnya, yang hanya menerima kunjungan wisatawan sebanyak 1 juta orang per tahun.
Dengan adanya pembatasan jumlah wisatawan itu menyebabkan orang mengantre dan meningkatkan harga jual, termasuk hotel-hotel sederhana.
“Ini menurut saya income tidak berkurang kalau kita melestarikan itu subak, asal diatur. Makanya itu perlu Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia,” jelasnya.
Baca: Festival Ramadan, Wadah Bagi Usaha Kuliner Mikro Berburu Berkah di Bulan Puasa
Baca: Anas Imbau Pengelola Wisata Fasilitasi Ibadah Ramadan Para Wisatawan
Selain membatasi kunjungan wisatawan, beberapa janji lainnya kepada UNESCO yakni adanya kesejahteraan lahir batin kepada para petani.
Kesejahteraan lahir batin itu tidak hanya dari segi pendapatan, tetapi mereka juga diajak dalam memutuskan segala bentuk pembangunan yang akan dijalankan di kawasan subaknya.
Para petani di kawasan itu juga harus mendapatkan jasa lingkungan dari adanya aspek pariwisata yang terkandali.
Janji lainnya yakni tidak boleh mengganti bahan-bahan lokal yang berada di sana dengan barang yang berasal dari pabrik.
Dicontohkan, barang pabrik itu misalnya mengganti atap yang biasanya menggunakan alang-alang dengan seng.
Kemudian infrastruktur yang dibangun di kawasan itu juga tidak boleh sampai merusak kawasan.
Ukuran merusak ini, kata Windia, bisa dilihat apabila pembangunan tersebut melanggar aturan yang seharusnya tertuang dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Baca: Woodball Denpasar Target Juara Umum Porsenijar Bali 2019
Baca: Perlakuan Artifa Dwi Putri Ini Dianggap Yama Carlos Keterlaluan Hingga Sebut Miskin & Tak Berharga
“Sekarang kan sudah melanggar. Di sana itu kan kawasan jalur hijau sebenarnya. Ada Pergub (juga), ada Perda, kemudian dilanggar (malah) didiamkan saja,” tuturnya.
Sebenarnya, kata Windia, jika dilihat dari segi aturan, sebenarnya sudah kuat, hanya saja tidak ada kontrol yang baik.
Ia menilai tidak adanya ketegasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan.
“Tiba-tiba bangun helipad, secara kasat mata saja kalau helikoter, pasti merusak lah. Misalnya padi sedang menguning (kemudian) datang helikopter kan petani yang dirugikan demi pariwisata. Malah saya usulkan parkirnya harus jauh,” kata dia.
Prof Windia menilai keadaan Subak Jatiluwih yang saat ini semakin memprihatinkan karena banyak pihak yang hanya berpikir soal keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan aspek kedepan.
“Jadi keadaan sekarang adalah keadaan dimana orang-orang pikirannya duit-duit dalam jangka pendek. Tidak melihat kelestarian untuk mendapatkan income dalam jangka panjang secara kontinu,” tuturnya.(*)