Soroti Ketimpangan Gender Daha Tua, Agung Atu: Perempuan Bali Harus Berpendidikan Tinggi
Doktor Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, Sh., Mh., adalah seorang dosen di Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali.
Penulis: Noviana Windri | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Doktor Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, Sh., Mh., adalah seorang dosen di Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali.
Perempuan yang kini berusia 43 tahun ini pernah meraih predikat dosen terbaik pada tahun 2017 dan menekuni bidang kearifan lokal, isu-isu perempuan, dan isu hukum.
Saat ini, Gung Atu, sapaan lengkapnya tengah menyoroti dan memperjuangkan ketimpangan gender pada perempuan Daha Tua atau perawan tua.
Daha tua atau perawan tua merupakan salah satu status untuk seorang perempuan yang belum menikah yang ada pada masyarakat ada yang di Bali.
Baca: Mahasiswa Undiknas Bisa Lulus tanpa Skripsi, Ini Syaratnya
Umumnya, status ini baru disematkan pada wanita Bali yang berumur di atas 50 tahun.
Dijelaskannya, alasannya tertarik untuk memperjuangkan ketimpangan gender pada perempuan daha tua karena dirasa para daha tua menghadapi banyak problematika.
Mulai dari kekerasan ekonomi, beban ganda, diskriminasi politik keluarga, stigma negatif, dan kekerasan sosial.
"Ketika berbicara daha tua di Bali, karena berawal dari saya melihat secara empiris atau kenyataan. Saya ingin melihat bagaimana sebenarnya dalam konteks hukum itu berkaitan dengan keberadaannya di dalam sebuah keluarga," ucapnya saat ditemui Tribun Bali, Sabtu (18/5/2019).
Lebih lanjut, Agung Atu menjelaskan secara prinsip hukum adat Bali adalah daha tua adalah perempuan yang tidak kawin atau menikah, kalau konteks di rumah berhak mengelola hartanya.
Baca: Pernah Dilema Menentukan Perjalanan Hidup, Agung Atu Akhirnya Sukses dalam Bidang Akademis
Namun, menurutnya pada kenyataan seorang daha tua selalu dikesampingkan, dipinggirkan bahkan tidak pernah dilibatkan dalam urusan keluarga.
Bahkan mendapat beban ganda yang mengharuskan untuk tetap bekerja untuk menghidupi keluarganya.
"Karena di Bali mengamut sistem purusa, artinya uang berhak sebagai ahli waris adalah lelaki. Perempuan tidak berhak atas apapun. Nah seorang daha tua inilah yang kemudian akhirnya dibebankan pekerjaan untuk mengurus orang tuanya, saudaranya. Kan gitu jadinya," paparnya.
Gung Atu bahkan membandingkan seorang daha tua tanpa pendidikam tinggi dengan daha tua yang berpendidikan tinggi.
Menurut penelitian yang ia lakukan, daha tua berpendidikan tetap dilibatkan dalam sebuah pengambilan keputusan.
Berbanding terbalik dengan seorang daha tua tidak memiliki pendidikan tinggi.
"Saya bandingkan, dan seperti itu hasil penelitian saya. Dari situ berarti sudah ada pembedaan secara sosial. Padahal seharusnya tetap seperti itu. Ternyata, pendidikan amat sangat penting dan menentukan perlakuan di dalam keluarga," ungkapnya.
Agung Atu juga menyarankan agar para perempuan Bali harus berpendidikan tinggi.
"Perempuan Bali tidak boleh berpendidikan rendah. Perempuan Bali harus berpendidikan tinggi. Dialah yang harus menyebabkan dirinya dihargai. Walaupun dia seorang daha tua," ucapnya.
Berdasarkan penelitian, bentuk problematikan seorang daha tua yakni menjadi seorang tulang punggung, melakukan pekerjaan domestik dan publik, tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, dan stigma negatif (cerewet, menyebalkan, bahkan mistis).