Melarat di Pulau Surga

Siang Kepanasan, Hujan Kebanjiran! Tak Punya Biaya Bangun Rumah, 3 KK Tinggal Berdesakan di Tenda

Tak hanya Ketut Bulat, di atap yang sama juga tinggal dua keluarga lain, yaitu keluarga Nengah Rusman serta keluarga Wayan Mudia

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
MELARAT - Ketut Bulat saat ditemui di rumah beratap terpal di Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku, Rabu (22/5/2019). Di dalam rumah itu juga tinggal dua kepala keluarga lainnya. 

“Di sana kami menempati tanah pekarangan desa. Sesuai dengan adat di sana (Desa Bonyoh), hanya anak terakhir yang boleh menempati pekarangan desa adat. Dalam hal ini adik saya, Wayan Sutama. Saya sejak dulu tinggal di sana, tidak paham aturan itu. Saya juga tidak punya masalah apa pun. Namun karena sudah merupakan aturan, saya dan keluarga memutuskan kembali ke (Dusun) Penaga,” jelasnya.

MELARAT - Ketut Bulat saat ditemui di rumah beratap terpal di Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku, Rabu (22/5/2019). Di dalam rumah itu juga tinggal dua kepala keluarga lainnya.
MELARAT - Ketut Bulat saat ditemui di rumah beratap terpal di Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku, Rabu (22/5/2019). Di dalam rumah itu juga tinggal dua kepala keluarga lainnya. (Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury)

Sudah 1,5 bulan Ketut Bulat bersama dua KK lainnya pindah ke Dusun Penaga.

Terpal yang kini dijadikan sebagai hunian berupa kamar, itupun juga pemberian dari kerabatnya.

Mau tidak mau, segala keadaan harus dia terima.

Seperti saat siang hari yang terasa sangat panas di dalam tenda.

Baca: 3 VPN Android Terbaik, Bisa Akses Medsos Termasuk WhatsApp Yang Terganggu Pasca Aksi 22 Mei

Baca: Parkir Elektronik Pasar Badung Ngadat, Pengunjung Tak Dapat Karcis Parkir

“Karena keadaan, terpaksa kami tinggal bertujuh dalam satu ruangan. Begitupun saat hujan. Airnya sempat masuk ke dalam,” ujar pria 48 tahun ini.

Keluarga lainnya bernama Wayan Sutama menambahkan, semula dirinya juga ikut tinggal di Desa Bonyoh.

Lantaran merasa pendapatan tidak mencukupi dengan empat KK di satu pekarangan, ia bersama sang istri memutuskan pindah ke Dusun Penaga.

MELARAT - Ketut Bulat saat ditemui di rumah beratap terpal di Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku, Rabu (22/5/2019). Di dalam rumah itu juga tinggal dua kepala keluarga lainnya.
MELARAT - Ketut Bulat saat ditemui di rumah beratap terpal di Dusun Penaga, Desa Yangapi, Tembuku, Rabu (22/5/2019). Di dalam rumah itu juga tinggal dua kepala keluarga lainnya. (Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury)

“Sehari-hari kami maburuh. Rata-rata barang yang ada di sini, seperti kayu, itu dapat minta ain. Untuk mendirikan bangunan dari kayu, saya membutuhkan waktu sampai satu tahun,” bebernya.

Tanah yang kini ditempati oleh empat KK atau 10 orang ini, kata Sutama juga merupakan tanah desa adat.

Sebab itu, ia bersama kerabat yang lain diberi kewajiban yakni membayar pajak pada desa adat dengan hitungan dua kilogram beras per are tiap tahun.

Baca: TRIBUN WIKI - 5 Fakta Tentang Museum Bung Karno di Denpasar

Baca: Ganjar Pranowo Sebut Ada Sosok Sengkuni Yang Mengendalikan Perusuh di Aksi 21-22 Mei

“Total lahan di ini luasnya 76 are, dan tiap tahunnya harus ada. Kalau di adat itu hitungannya berupa beras, namun pembayaran berupa uang sesuai dengan harga beras yakni Rp 12 ribu per kilogram. Di samping itu kami juga diwajibkan untuk bersih-bersih di pura-pura desa,” ucapnya.

Hunian Sangat Tidak Layak 

Kelian Dusun Penaga, I Nengah Rijasa, membenarkan terkait apa yang terjadi pada keluarga tersebut.

Ujarnya, saat kembali ke Dusun Penaga, tiga KK itu tidak membawa apapun.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved