Simpang Ring Banjar
Sang Hyang Jaran sebagai Sesari, Ada Sejak Tahun 1894 Masehi
Pakraman Jungut Batu di Pulau Lembongan kaya dengan warisan seni dan budaya, satu diantaranya adalah tari Sang Hyang Jaran
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Irma Budiarti
Sang Hyang Jaran sebagai Sesari, Ada Sejak Tahun 1894 Masehi
TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Pakraman Jungut Batu di Pulau Lembongan tidak hanya memiliki panorama pantai yang indah, namun juga kaya dengan warisan seni dan budaya.
Satu diantaranya adalah tari Sang Hyang Jaran yang selama ini menjadi maskot di Pulau Lembongan.
Tari Sang Hyang Jaran merupakan tarian klasik dan sakral asli Pulau Lembongan.
Berdasarkan sumber lontar di Pakraman Jungut Batu, tari Sang Hyang Jaran ini telah ada sejak tahun 1894 masehi.
Pada masa itu, Kepulauan Nusa Penida dikenal sebagai lokasi untuk menampung orang-orang yang diasingkan dari setiap kerajaan di Bali.
"Ada seorang pendeta bernama Ida Pedanda Gede Punia yang berasal dari Bangli. Beliau ketika itu tidak diharapkan di wilayahnya dan diasingkan ke Nusa Penida," terang ketua penari Sang Hyang Jaran Desa Jungut Batu, Guru Mirah Maharani.
Setelah tiba di Pulau Nusa Gede, Ida Pedanda Gede Punia ternyata tidak diterima oleh Jero Mekel di desa-desa di sekitar Pulau Nusa Gede, sehingga Ida Pedanda Gede Punia harus berlayar hingga ke Pulau Nusa Lembongan.
Baca: Satpol PP Gianyar Sidak Penginapan Tak Berizin & Penjual Kaus Olahraga di By Pass Buruan
Baca: Tender Pasar Petang Rp 1,8 Miliar, Proyek Hanya Mengerjakan Bagian Belakang Pasar
Kehadiran orang suci asal Bangli ini pun diterima dengan baik oleh Jero Mekel di Desa Lembongan saat itu yakni I Komang Jungut.
Ida Pedanda Gede Punia lalu mengembangkan kesenian sakral tari Sang Hyang Jaran di Nusa Lembongan.
"Tarian ini sebenarnya berasal dari Bangli dan dikembangkan di Nusa Lembongan oleh Ida Pedanda Gede Punia. Seiring waktu berlalu, kumpi saya Komang Jungut tangkil ke Kerajaan Klungkung dan membentuk Desa Jungut Batu. Tarian sakral ini lalu semakin berkembang hingga saat ini," ungkapnya.
Dalam pelaksanaannya, para penari Sang Hyang Jaran berpakaian merah dan putih, dan mengenakan udeng terbalik.
Mereka juga menunggangi properti menyerupai kuda yang dilengkapi dengan lonceng.
Tarian ini benar-benar terasa sakral saat dipertunjukkan.
Masyarakat meyakini, para penari mengalami kesurupan sepanjang pertunjukan.