Gerhana Matahari Total
Gerhana Matahari Hari Ini, Pahala Dana Punia Saat Gerhana 10 Kali Lipat Dibanding Rerahinan Ini
Dalam kalender Bali, sehari dimulai pukul 06.00 sampai pukul 06.00 esoknya sehingga gerhana matahari hari ini bertepatan dengan Tilem Sadha.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hari ini, Selasa (2/7/2019) merupakan perayaan bulan gelap pada bulan keduabelas atau Tilem Sada bagi umat Hindu khususnya di Bali.
Selain itu, juga ada fenomena gerhana matahari total yang terjadi pada pukul 23.55 Wib.
Dalam kalender Bali, sehari dimulai pukul 06.00 sampai pukul 06.00 esoknya sehingga gerhana matahari hari ini bertepatan dengan Tilem Sadha.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa.
Menurutnya, dalam Jnyana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada Siwa, di dalam Siwa ada gelap yang paling gelap.
Hal itulah yang menyebabkan Tilem mendapatkan pemuliaan.
Guna mengatakan di daerah Bangli ada Pura Penileman, dimana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana.
"Di Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas (meminta) pengidep pati atau sarining taksu jelas sudah Siwa. Bukti arkeologis ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa,” katanya.
Sehingga dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan.
Sementara itu terkait gerhana baik matahari maupun gerhana bulan, erat kaitannya dengan kisah Kala Rau yang menelan matahari atau bulan.
Menurutnya hal ini disuratkan dalam Adiparwa yang merupakan bagian dari epos Mahabharata yang erat kaitannya dengan pemutaran Mandara Giri untuk mendapatkan tirta amerta.
Kala Rau merupakan sosok raksasa yang abadi karena ikut meminum tirta amerta saat menyamar menjadi dewa dalam pembagian tirta amerta.
Hal itu diketahui Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra dan melaporkan hal itu pada Dewa Wisnu.
Saat tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya, maka Dewa Wisnu melepaskan panahnya yang menyebabkan kepala Kala Rau putus lalu melayang di angkasa dan tubuhnya jatuh ke bumi.
Kala Rau kemudian terus mengejar Sang Hyang Candra dan Sang Hyang Surya dan mencaploknya pada saat parwa kala.
Sementara itu, dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna halaman 9 dikatakan, kepada kita para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang.
Hormat pada gelapnya bulan mati (Tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan purnama.
Disebutkan lebih lanjut dalam buku itu pada halaman 10, pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan.
Tapi dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri.
Saat Tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala dosa, noda, dan kekotoran dari dalam diri.
Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan.
Mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.
Artinya:
Pada saat Tilem, wajib menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri.
Dengan menghaturkan wangi-wangian di sanggar atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur, yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara.
Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas.
Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening.
Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.
Terkait gerhana matahari dalam lontar Sundarigama juga dikatakan setahun setelah terjadi gerhana matahari tak dibenarkan melakukan karya hayu.
Saat keadaan yang demikian, sepatutnyalah para rohaniawan melakukan pujaan untuk kesempurnaan kembali Sang Hyang Surya.
Adapun sarananya yakni canang wangi-wangi, saha raka, dan bubur biaung serta penek putih kuning adandanan serta puspa wangi.
Semua orang juga melakukan renugan suci dengan membacakan isi buku-buku keagamaan dan ceritra-ceritra suci, bertempat di halaman rumah, patut dilakukan pujaan kepada Sang Hyang Surya.
Selain itu, dalam buku Siwa Smreti halaman 2, IBG Agastia menuliskan bahwa tanggal 22 Maret 79 ditetapkan oleh Raja Kaniskha sebagai tahun baru saka, atau tanggal 1 bulan 1, tahun 1 Saka.
Ida menuliskan, sehari sebelumnya, 21 Maret 79 terjadi peristiwa penting yaitu gerhana matahari total.
“Sebagaimana diketahui pada saat gerhana, matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu gerhana matahari jatuh pada tilem (bulan mati) dan gerhana bulan jatuh pada purnama,” imbuhnya.
Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa sehari sebelum tahun baru saka pertama adalah Tilem.
Lebih lanjut dikatakan bahwa penetapan tahun saka yang memperhatikan posisi bulan, bumi, dan matahari ini tetap diteruskan di Bali.
Hal ini menyebabkan tanggal 1 bulan 1 Saka senantiasa jatuh pada pananggal apisan bulan Waisaka (Kadasa), sehari setelah Tilem Caitra (kesanga).
Dalam buku tersebut, Ida juga menuliskan bahwa saat gerhana waktu yang tepat untuk menyucikan diri dan mapunia.
Dituliskan Ida sebagaimana yang termuat dalam Kakawin Negarakertagama karangan Mpu Prapanca dijelaskan pada jaman Majapahit, para pandita Siwa Budha melaksanakan upacara prayascita ketika gerhana untuk merahayukan negeri.
Ida juga mengutip dari KItab Sarasamuscaya, bahwa hari-hari baik untuk melakukan dana punia adalah ketika terjadinya gerhana matahari maupun bulan, dimana dana punia yang diberikan pada saat itu pahalanya sangat besar.
Dan yang paling menarik yakni dalam Kitab Slokantara disebutkan punia yang dilakukan saat gerhana pahalanya sepuluh kali lipat dibandingkan dana punia yang dilakukan saat rerahinan Purnama dan Tilem.
“Punya yang dilaksanakan pada saat gerhana bulan dan gerhana matahari sepuluh kali lipat pahalanya dibandingkan dengan dana punya yang dilaksanakan pada saat Purnama atau Tilem. Artinya ketika gerhana terjadi benar-benar adalah waktu baik untuk melakukan punya, yang bermakna hari untuk penyucian diri, membebaskan diri dari belenggu egoisme atau kepemilikan dan keakuan,” tulis Ida. (*)