Ngopi Santai

Pembeli Pun Bisa Berlari-lari

Perilaku kaum milenial yang unik pun mengguncang dunia kerja. Hari gini jangan lagi tuan dan puan bayangkan mereka mau rutin masuk kantor pukul 08.00

Penulis: DionDBPutra | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Pixabay/HutchRock
Ilustrasi belanja online. Ciri perilaku milenial adalah lebih doyan berbelanja via online dan tak lagi getol berburu barang, mereka justru banyak mengonsumsi pengalaman (leisure). 

Tak berbeda dengan cabang olahraga golf. Popularitas golf mencemaskan . Sebuah survei menemukan fakta hanya 5 persen kaum milenial yang menekuni golf.

Dalam satu dekade terakhir semakin sedikit penonton yang menyaksikan event golf dunia. Jauh berkurang misalnya jika dibandingkan pada masa keemasan pegolf Amerika Serikat berdarah Thailand, Tiger Woods di era 2000-an.

Dampak kesunyian golf merebak ke mana-mana. Pada tahun 2016 raksasa produsen perlengkapan olahraga Adidas menjual sebagian besar bisnis perlengkapan golfnya karena terus-menerus merugi. Pihak Adidas menyatakan ingin fokus pada bisnis sepatu dan pakaian olahraga saja.

Sebenarnya sejak Agustus 2015, perusahaan asal Jerman tersebut meluncurkan tinjauan bisnis golfnya. Sebagai pemasok perlengkapan golf terbesar dunia, Adidas sungguh merasakan dampak buruk dari makin tidak populernya olahraga elit ini (Kompas.com, 6/5/2016, 15:00).

Perilaku kaum milenial yang unik pun mengguncang dunia kerja. Hari gini jangan lagi tuan dan puan bayangkan mereka mau rutin masuk kantor pukul 08.00 pagi dan pulang ke rumah pukul 17.00. Mereka sungguh tak betah terikat pada sistem semacam itu.

Milenial butuh fleksibilitas dalam bekerja. Dengan kata lain mereka mendambakan bisa bekerja di manapun dan kapan pun demi mencapai kinerja yang dipatok. Survei Deloitte menunjukkan, sebesar 92 persen milenial menempatkan fleksibilitas kerja sebagai prioritas utama.

Anak perempuan senior saya di dunia kewartawanan sudah pindah tempat kerja sebanyak 4 kali dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Apakah karena alasan gaji atau pendapatan? Bukan! Baginya besar kecil gaji itu relatif. Dia pindah karena mendambakan fleksibilitas itu.

Sejak penghujung tahun lalu ia bekerja pada sebuah perusahaan multinasional berbasis di Jakarta yang memenuhi harapannya. Maka dia pun bisa bekerja sambil berlibur ke Eropa  bersama kekasihnya, jalan-jalan ke Labuan Bajo dan keliling Pulau Flores yang indah itu bahkan sempat pula ke Bali. “Saya ini workcation, Om. Bekerja sambil liburan,” katanya bangga.

Artinya bila suatu tempat kerja masih kaku menerapkan gaya bekerja ala generasi Baby Boomers, maka pelan tapi pasti akan kehilangan peminat.

Tentu saja batasan waktu masuk kerja sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan dan peraturan internal suatu instansi patut diberlakukan pula.

Namun, mengingat perilaku milenial maka unsur fleksibilitasnya jangan terabaikan. Ini menjadi ujian seni mengelola seorang manajer atau pemimpin unit kerja.

Dalam nada agak menyeramkan, ada yang bilang millennials will kill everything! Kalau demikian, tak ada jalan yang lebih elok selain kita mesti melayaninya dengan bijak.

Darwin sejak abad lalu telah mengingatkan, bukan mereka yang kuat dan hebat yang mampu bertahan hidup. Tapi yang mau beradaptasi dengan tuntutan zamannya. Atau bagaimana menurut tuan dan puan? (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved